BARISAN.CO – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin optimis, dalam upaya menciptakan herd immunity, pemerintah akan dapat memvaksin 181,5 juta rakyat cukup dalam waktu 15 bulan saja (Januari 2021-Maret 2022).
Optimisme tersebut bisa terpenuhi dan bisa tidak. Kalau tidak dimanajemen secara serius, sangat mungkin optimisme berubah amburadul.
Yang jelas, sejak dimulai pada 13 Januari lalu, program vaksinasi masih menunjukkan sejumlah masalah yang menghambat kelancaran. Paling banyak terkait distribusi, pendataan, pasokan vaksin, dan jumlah vaksinator. Dan agaknya penting digarisbawahi, bahwa masing-masing masalah tersebut menyumbang potensi ketertundaan.
Dalam soal distribusi misalnya, pun, juga memiliki anak masalah yang tak kurang-kurang jumlahnya. Ada soal geografis, ada soal force majeure seperti banjir dan ombak tinggi, dan lain-lain. Pada gilirannya, barangkali kita memang perlu mendudukkan optimisme pemerintah dengan pencermatan yang hati-hati.
Tabel tahapan vaksinasi
Tahap Pelaksanaan | Sasaran | Jumlah (juta orang) |
(1) Jan-Apr 2021 | Tenaga kesehatan | 1,3 |
(2) Jan-Apr 2021 | Petugas publik & Lansia | 38,9 |
(3) Apr 2021-Mar 2022 | Masyarakat rentan | 63,9 |
(4) Apr 2021-Mar 2022 | Pelaku ekonomi | 77,4 |
181,5 |
Sumber: SK Ditjen Pencegahan & Pengendalian Penyakit No. HK.02.02/4/1/2021.
Sinkronisasi Data
Data adalah titik berangkat program vaksinansi. Sayangnya, data juga menjadi masalah utama di sini. Menkes Budi Gunadi bahkan telah mengakui bahwa kementeriannya, sebagai penanggung jawab, tidak memliki data mutakhir yang dapat menunjang kemulusan program vaksinasi.
Budi kemudian menggunakan data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menentukan penerima vaksin Covid-19. Data itu dianggap yang paling baru. Meski demikian, masih ada kendala untuk memetakan siapa saja yang termasuk prioritas penerima vaksin tahap-tahap awal.
Sejauh ini, masih ada banyak tenaga kesehatan (nakes) yang belum terdaftar dalam program vaksinasi Covid-19, menurut Ikatan Dokter Indonesia. Adapun mereka mengalami kesulitan untuk mendaftarkan diri, dan nyaris belum ada solusi di soal ini. Padahal, penting untuk mencapai target vaksinasi 1,3 juta orang nakes sebagai prioritas demi penanganan pandemi.
Jumlah Vaksinator
Presiden Jokowi menargetkan Indonesia dapat melakukan vaksinasi terhadap 181,5 juta orang dalam 15 bulan untuk menciptakan herd immunity. Namun, melihat jumlah SDM vaksinator yang ada, target itu lebih mirip angka kosong daripada sesuatu yang dapat diupayakan.
Kebutuhan vaksinator dan kemampuannya jelas akan memengaruhi kualitas vaksin Covid-19. Sementara itu, vaksinator Indonesia hanya 23 ribu orang, dan itu merupakan jumlah yang tidak ideal.
Asumsikan seorang vaksinator mampu menyuntik sebanyak 20 dosis/hari. Maka, hanya akan didapatkan angka vaksinasi 460 ribu dosis/hari. Jika para vaksinator tidak diberikan hari libur dalam sebulan penuh, maka Indonesia dapat menyuntikkan sebanyak 13,8 juta dosis/bulan.
Jangan lupa bahwa tiap satu orang membutuhkan 2 kali vaksin dalam sebulan. Dengan begitu, maka 13,8 juta dosis dibagi dua, hasilnya hanya akan ada 6,9 juta orang yang divaksin dalam sebulan, atau setara dengan 103,5 juta orang dalam 15 bulan. Jumlah yang masih sangat jauh dari standar WHO untuk menciptakan herd immunity.
Setelah dua pekan bergulir, tepatnya memasuki 31 Januari, pun, tampak betapa target sulit tercapai. Baru sekitar 500 ribu orang yang disuntik, atau 0,19 per 100 penduduk menurut Our World in Data. Bandingkan dengan jumlah vaksinasi Turki yang sebanyak 2,36 per 100 penduduk. Ada pula Uni Emirat Arab 33,71 per 100 penduduk.
Grafik: vaksin per 100 orang
Sumber: Our World in Data.
Pasokan Vaksin
Salah satu alasan pemerintah optimis menyelesaikan program vaksinasi dalam 15 bulan, adalah klaim tentang sudah cukupnya pasokan vaksin. Saat ini, telah tersedia 3 juta dosis vaksin Sinovac di kantong pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga sudah memesan 50 juta dosis vaksin Novavac dari Kanada, 54 juta dosis vaksin Covax, 50 juta dosis vaksin AstraZaneca, dan 50 juta dosis vaksin Pfizer.
Namun penting diperjelas kembali, bahwa semua yang dipesan ini berstatus ‘on progress’. Artinya, barang belum di tangan dan masih diusahakan.
Tentu status ‘on progress’ ini perlu dikaitkan dengan dinamika politik dunia, yang cenderung masih bisa mengubah segala sesuatunya. Apalagi, belakangan muncul fenomena ‘vaksinasionalisme’, di mana negara-negara memainkan sentimen nasionalisme dan kekuatan ekonomi untuk saling berebut vaksin. Fenomena ini terutama terjadi di kalangan negara-negara maju.
Hari ini, 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) menjadi pemain utama isu vaksinasionalisme. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, UE mengonfirmasi bahwa mereka telah memberlakukan kontrol ekspor vaksin Corona yang dibuat di wilayahnya. Semua itu dilakukan untuk memastikan bahwa anggota UE mendapat giliran pertama soal ketersediaan vaksin.
Menanggapi maraknya vaksinasionalisme itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar negara-negara dunia berkomitmen saling berbagi vaksin. Jangan sampai, kata dia, “Ketika sains telah berhasil (mengembangkan vaksin), solidaritas cenderung gagal.”
Bagi Indonesia, isu ini jelas harus diantisipasi. Jika sentimen nasionalisme antarnegara kaya ini tereskalasi menjadi perang dagang, Indonesia sebagai negara kelas ketiga jelas tidak diuntungkan. Program vaksinasi bisa lebih panjang dari yang direncanakan. []
Penulis: Ananta Damarjati
Diskusi tentang post ini