Jangan lupa bahwa tiap satu orang membutuhkan 2 kali vaksin dalam sebulan. Dengan begitu, maka 13,8 juta dosis dibagi dua, hasilnya hanya akan ada 6,9 juta orang yang divaksin dalam sebulan, atau setara dengan 103,5 juta orang dalam 15 bulan. Jumlah yang masih sangat jauh dari standar WHO untuk menciptakan herd immunity.
Setelah dua pekan bergulir, tepatnya memasuki 31 Januari, pun, tampak betapa target sulit tercapai. Baru sekitar 500 ribu orang yang disuntik, atau 0,19 per 100 penduduk menurut Our World in Data. Bandingkan dengan jumlah vaksinasi Turki yang sebanyak 2,36 per 100 penduduk. Ada pula Uni Emirat Arab 33,71 per 100 penduduk.
Grafik: vaksin per 100 orang
Sumber: Our World in Data.
Pasokan Vaksin
Salah satu alasan pemerintah optimis menyelesaikan program vaksinasi dalam 15 bulan, adalah klaim tentang sudah cukupnya pasokan vaksin. Saat ini, telah tersedia 3 juta dosis vaksin Sinovac di kantong pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga sudah memesan 50 juta dosis vaksin Novavac dari Kanada, 54 juta dosis vaksin Covax, 50 juta dosis vaksin AstraZaneca, dan 50 juta dosis vaksin Pfizer.
Namun penting diperjelas kembali, bahwa semua yang dipesan ini berstatus ‘on progress’. Artinya, barang belum di tangan dan masih diusahakan.
Tentu status ‘on progress’ ini perlu dikaitkan dengan dinamika politik dunia, yang cenderung masih bisa mengubah segala sesuatunya. Apalagi, belakangan muncul fenomena ‘vaksinasionalisme’, di mana negara-negara memainkan sentimen nasionalisme dan kekuatan ekonomi untuk saling berebut vaksin. Fenomena ini terutama terjadi di kalangan negara-negara maju.
Hari ini, 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) menjadi pemain utama isu vaksinasionalisme. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, UE mengonfirmasi bahwa mereka telah memberlakukan kontrol ekspor vaksin Corona yang dibuat di wilayahnya. Semua itu dilakukan untuk memastikan bahwa anggota UE mendapat giliran pertama soal ketersediaan vaksin.
Menanggapi maraknya vaksinasionalisme itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar negara-negara dunia berkomitmen saling berbagi vaksin. Jangan sampai, kata dia, “Ketika sains telah berhasil (mengembangkan vaksin), solidaritas cenderung gagal.”
Bagi Indonesia, isu ini jelas harus diantisipasi. Jika sentimen nasionalisme antarnegara kaya ini tereskalasi menjadi perang dagang, Indonesia sebagai negara kelas ketiga jelas tidak diuntungkan. Program vaksinasi bisa lebih panjang dari yang direncanakan. []
Penulis: Ananta Damarjati