Agama itu mengatasi akal dan rasa. Agama merupakan jalan ketika pikiran dan perasaan tak bisa memetakannya secara jelas.
BERASA kualat kalau tak mengingatnya. Ia menghadirkan tasawuf, tidak sebagaimana para sufi tempo dulu yang lebih mengutamakan uzlah.
Ia tak menekankan laku pengasingan diri untuk sekadar memusatkan perhatian pada ritual ibadah. Baginya, bertasawuf adalah memandang wajah Allah di segala langkah dan peristiwa.
Dialah Muhammad Zuhri. Saya memperoleh wawasan keislaman yang sarat filosofis. Ia menghidupkan nilai seorang muslim bukan pada sujud, bukan pada rukuk, melainkan perbuatannya. Hal itu berdasar perolehan Nabi Muhammad Saw. dari pengalaman spiritual tertingginya, Isra Mikraj.
Dalam formula salat, ada duduk, sujud, rukuk, dan berdiri. Keempat formula itu diikat oleh “gerak”. Dan di setiap “gerak” disertai “Allahu Akbar”, Allah Mahabesar. Mengandaikan bahwa nilai seseorang itu ada di dalam perbuatan, yang sekaligus bersaksi Allah itu ada dan Mahabesar.
“Wahai hamba-Ku, Aku lapar. Kenapa engkau tak memberi-Ku makanan?
“Mahasuci Engkau, ya Allah! Bagaimana saya sanggup memberi-Mu makanan, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam?”
“Lihat, tetanggamu ada yang lapar! Bawakan ia makanan. Engkau akan bertemu Aku di sana.”
Suatu modus beragama dengan merasakan kehadiran Tuhan dalam beramal. “Tarekat kita itu bukan lagi tarekat seperti zaman 500 tahun silam. Kita tak perlu membuat tata laku yang aneh-aneh dalam menggarap diri.” jelas Muhammad Zuhri.
Dulu, seorang guru sangat berperan dalam membuat aturan ritual dan perilaku. Dan si murid harus membaca wirid sekian ribu kali. Namun kini tidak. Seorang penempuh tak perlu lagi mencipta latihan. Tuhan sendirilah yang akan langsung melatih sang penghayat.
Tuhan melatih kita melalui sarana sakit, ketika merugi dalam berdagang, anak tidak lulus ujian nasional, atau saat kita belum mendapat kerja, dst. Itulah sarana latihan dari Tuhan.
“Jadi kita tak perlu repot membuat latihan-latihan untuk membenahi diri. Tunggu saja, Tuhan yang akan memberikan pelatihan! Lantas kita respon dengan baik dan benar. Itulah tarekat kita yang relevan dengan situasi sekarang.”
Begitulah Muhammad Zuhri. Penempuh jalan sunyi yang tak mendirikan lembaga tarekat. Dan setiap kali bertandang ke rumahnya, setiap kali pula saya mendapat pencerahan. Tutur katanya mengalun indah bak puisi.
“Tetangga,” kata Muhammad Zuhri, “adalah cermin keberadaan kita. Maka jangan coba-coba kita merespon harapan dan keluhan tetangga secara asal! Tetanggalah yang mendewasakan kita.”
“Agama itu teknis, tujuannya akhirat.” Sambungnya. “Akhirat itu bukan nanti dan di sana, melainkan sekarang dan di sini, yaitu ‘sang aku’, sang sadar, atau dunia diri.”
Seraya menyirami pot-pot bunga, dan tunas-tunas perdu di halaman rumahnya. Saya setia berada di sebelahnya, menyimak penuturannya. “Tanaman ini adalah cermin kita untuk mengenal sang aku. Bagaimana kita merespon perintah-Nya di balik tunas-tunas. Bagaimana kita menanggapi daun-daun yang mulai mengering. Mereka berseru ‘kami haus, tolong sirami!’.”
Ya, ketika ia memindahi dan menyirami pot-pot kembang sepatu, sembari mengulas senyum, ia tunjukkan pada saya bagaimana sang diri rindu dan bercengkerama dengan Sang Jati.