Berbagai sikap manusia terhadap ayat-ayat Allah Swt
Setelah menjelaskan kandungan makna ayat di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjabarkan ragam sikap dan reaksi manusia dalam berinteraksi dengan ayat-ayat Allah Swt sebagai petunjuk:
Pertama: yang menerimanya secara lahir dan batin. Mereka ada dua macam:
1. Orang-orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Mereka itulah para ulama yang memahami dengan baik dan benar tentang maksud-maksud ayat-ayat Allah Swt, selanjutnya mereka dapat memetik intisari pelajaran serta rahasia hikmah yang terkandung di dalamnya.
2. Orang-orang yang menjaga kitab Swt, mengingat serta menyampaikannya, namun mereka bukan termasuk yang dapat memetik intisari hukum maupun pelajaran di dalamnya dan tidak pula mampu mengungkapkan kandungan hikmahnya.
Kedua: Orang-orang yang menolak secara lahir dan batin serta mengingkarinya. Golongan ini pun terbagi menjadi dua macam :
1. Kaum yang mengetahui kebenaran kitab Allah Swt serta meyakini keabsahannya, namun mereka takluk oleh kedengkian hati, kesombongan maupun ambisiusme kepemimpinan di hadapan kaum mereka sehingga semua itu membuat mereka menolak kitab suci Allah SWT.
2. Adapun yang lainnya adalah para pengikut jenis pertama kelompok ini. Mengagungkan atau mengkultuskan mereka dalam setiap ucapan, sikap dan keputusan. Menjadikan mereka sebagai panutan yang diikuti.
Ketiga: Orang yang mendapatkan pelita hidaya
1. Mereka yang telah mendapatkan pelita hidayah kemudian menjadi buta dan tersesat, telah berilmu kemudian menjadi gelap hati tanpa cahaya, telah beriman namun kemudian berpaling kafir mengingkari. Mereka itu adalah para pemuka kaum munafiqin.
2. Atau mereka yang memiliki pandangan lemah. Mereka menjauh dari mendengarkan al-Qur’an, kalaupun mereka mendengarnya, maka mereka menutup telinga seraya berkata “jauhkan kami dari ayat-ayat ini!”. Bahkan seandainya mereka mampu, niscaya mereka akan mengambil tindakan buruk bagi siapapun yang memperdengarkan al-Qur’an atau mengajarkannya kepada mereka. Nau`udzubillah min dzalik
Keempat: Kaum Mukminin yang menyembunyikan keimanan di hadapan kaum mereka seperti sebagian keluarga Fir`aun, atau seperti an-Najasyi yang dikabarkan bahwa Rasulullah SAW telah menyalatkan jenazahnya.
Perumpamaan berlaku umum, bukan Yahudi semata
Para Ulama menjelaskan bahwa ayat ini tentang larangan jangan berperilaku seperti keledai tidak hanya berlaku pada kaum Yahudi saja, akan tetapi juga mencakup siapapun yang mengabaikan ayat-ayat Allah, termasuk umat Muhammad yang mengabaikan ayat-ayat al-Qur’an.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan ayat di atas dengan berkata, “Allah Swt menggambarkan manusia yang telah ditugasi mengemban kitab suci-Nya untuk diyakini, dicermati, diamalkan dan didakwahkan, namun ternyata mereka menyelisihinya, mereka sekedar menghapalnya tanpa tadabbur (penghayatan), tidak mengikuti petunjuknya, tidak pula berhukum dengannya dan mengamalkannya, sungguh mereka itu ibarat keledai yang membawa kitab-kitab namun tidak memahami isi yang terdapat di dalamnya. Nasib mereka persis sama seperti nasib keledai. Perumpamaan ini sekalipun mengetengahkan contoh kaum Yahudi, akan tetapi maknanya mencakup siapapun yang mengemban kitab suci al-Qur’an, akan tetapi tidak mengamalkannya, tidak menunaikan kandungan al-Qur’an atau memperhatikannya sebagaimana mestinya”.
Setelah kita mengetahui semuanya, lantas apakah diantara kita yang yang masuk dalam perumpamaan seperti di atas (bagaikan keledai)? Nabi Saw telah menegaskan bahwa mengamalkan ilmu yang telah diketahui merupakan konsekuensi logis.