Rubini juga menaruh perhatian untuk menurunkan mortalitas atau angka kematian ibu dan anak saat melahirkan. Hal ini kerap terjadi di praktik bidan tradisional atau dukun beranak kala itu.
Oleh sebabnya, selain membuka praktik kedokteran umum di rumahnya di Landraad Weg, kini Jalan Jenderal Urip di Pontianak, dia juga membuka praktik kebidanan yang ditangani oleh bidan bersertifikat.
Menjelang masuknya tentara Jepang karena Perang Pasifik pada 1941, pemerintah kolonial mengadakan evakuasi ke Jawa terhadap pejabat Belanda, penduduk, dan tokoh masyarakat penting pribumi, termasuk Rubini. Akan tetapi, karena kecintaannya kepada Kalbar dan pengabdian, dia menolak dievakuasi dan memilih tetap tinggal.
Keadaan menjadi rumit setelah tenaga dokter Belanda dievakuasi. Banyak korban jiwa akibat bom Jepang, padahal tenaga kesehatan berkurang. Pemerintah kolonial yang semakin terdesak kemudian mengangkat Rubini sebagai perwira kesehatan cadangan dengan pangkat letnan 2. Dia bertugas mengurus rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda.
Marahnya Jepang Hingga Wafatnya Raden Rubini
Rubini sempat melakukan beberapa aksi perjuangan. Pertama, ia mendirikan organisasi bernama Nissinkwai yang berpura-pura memihak negara berlogo 3A (siasat Jepang dalam mempengaruhi negara-negara Asia yang terjajah Eropa).
Jepang yang banyak menimbulkan korban Bumiputra membuat Rubini tak bisa diam. Tokoh ini berusaha merawat beberapa pribumi yang memang dilukai para Dai Nippon, termasuk para perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Setelah mengetahui gelagat Rubini, Jepang mengambil langkah pertama dengan membubarkan organisasi Nissinkwai. Rubini yang sudah dihancurkan organisasinya tetap bersih ketat ingin memperjuangkan haknya.
Pada 1943, melalui sebuah pergerakan kolaborasi masyarakat Banjarmasin dan Pontianak (Kalimantan Barat). Rubini kala itu dianggap sebagai pemimpin pasukan bersenjata Soeka Rela. Namun, gerakan-gerakan itu dibekuk oleh Jepang lantaran sudah terdengar siasatnya.
Kisaran 1943-1944, terjadi penangkapan tokoh-tokoh di daerah Kalimantan pun terjadi. Mengacu Koran Borneo Sinbun bertanggal 1 Juli 1944, ada 48 pimpinan gerakan yang diringkus dan dibunuh. Salah satunya dr. Raden Rubini Natawisastra.
Menurut situs Kalbar, Rubini saat dibunuh sedang menduduki posisi sebagai Kepala Rumah Sakit Umum Sungai Jawi, Pontoanak. Di kenal di daerah sana, Rubini namanya dijadikan sebagai nama RSUD di daerah Kabupaten Mempawah, Pontianak. [rif]