Jawa Barat menempati peringkat pertama dengan jumlah pekerja terdampak PHK terbanyak secara nasional.
Oleh: Lukni Maulana
(Pengkaji Sosial-Ekonomi dan Transformasi Digital)
SEPANJANG Januari hingga Juni 2025, Indonesia kembali diguncang gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data resmi dari Satudata Kemnaker, tercatat 42.385 pekerja terkena PHK.
Angka ini mengalami lonjakan sebesar 32,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (32.064 pekerja). Lonjakan ini bukan hanya angka statistik, melainkan representasi dari wajah ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh ribuan keluarga di seluruh Indonesia.
Namun yang paling menarik untuk dicermati adalah pola geografis dari gelombang PHK ini yakni dominasi provinsi-provinsi tertentu yang seakan menjadi episentrum kehilangan pekerjaan.
Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dengan 22.671 kasus PHK. Sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi di banyak wilayah, namun sekaligus menjadi sektor paling rentan ketika terjadi penyesuaian pasar global atau pelemahan daya beli dalam negeri.
Tidak semua provinsi terdampak secara merata. Data Juni 2025 mengungkapkan bahwa Provinsi Jawa Barat berada di posisi teratas dengan 460 pekerja terkena PHK, disusul Kalimantan Selatan (181), Daerah Istimewa Yogyakarta (176), Jawa Tengah (151), Banten (138), dan DKI Jakarta (122).
Keenam provinsi ini mencerminkan simpul utama konsentrasi industri dan padatnya tenaga kerja sektor manufaktur dan jasa.
Yang perlu dicermati bukan hanya angka absolutnya, tetapi bagaimana PHK menyebar secara regional dan mencerminkan ketahanan struktural yang berbeda-beda.
Jawa Barat, dengan keunggulan industri manufaktur dan kawasan industri terbesar di Indonesia, menyimpan risiko tinggi ketika terjadi guncangan rantai pasok atau efisiensi tenaga kerja.
Provinsi ini telah lama menjadi magnet investasi, tetapi kurang tangguh ketika gelombang digitalisasi dan otomasi memukul sektor padat karya.
Kalimantan Selatan, meskipun tidak sebesar Jawa Barat, mencatat angka tinggi karena tergantung pada sektor pertambangan dan turunan industrinya yang kini tengah tertekan harga global.
Sementara itu, DIY dan Jawa Tengah memperlihatkan sisi lain dari ekonomi yang rapuh. DIY selama ini dikenal dengan sektor pariwisata dan UMKM, yang ternyata juga terdampak dari perlambatan ekonomi domestik.
PHK di sektor jasa dan hospitality di wilayah ini menandakan bahwa krisis ketenagakerjaan tak lagi monopoli kawasan industri besar.
Jawa Tengah sendiri kerap menjadi lokasi relokasi industri dari Jawa Barat karena faktor upah yang lebih rendah.