Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Jenaka Sang Penyair

Redaksi
×

Jenaka Sang Penyair

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Syahdan, Abu Nuwas al-Hasan, seorang penyair besar pada masa Dinasti Abbasiyah. Ia terkenal dengan kecerdikannya. Harun al-Rasyid berkali-kali ingin mengalahkannya, tapi tak pernah menang.

Dalam suatu kesempatan, sang khalifah ingin menguji kelihaian penyair favoritnya itu. “Kamu harus ikut mereka mandi di sungai Furot, Irak! Dan, yang  balik idak bawa telur akan dihukum mati.”

Ya, ada empat pengawal Harun al-Rasyid, semuanya membawa telur sebelum masuk ke sungai. Hanya Abu Nuwas yang tak membawa telur. Padahal jelas, bagaimana mungkin mencari telur ayam di dalam sungai. Semua yang turut menyaksikan, terlebih Harun al Rasyid, yakin Abu Nuwas bakal kalah.

Namun, Abu Nuwas tetap tenang. Lalu dipanggillah semua orang yang sudah masuk ke sungai dengan membawa telur. Hanya Abu Nuwas yang datang dengan tangan kosong, seraya berkata, “Saya ini kan ibarat ayam jantan, jadi tidak bisa bertelur.”

Konon, Harun al-Rasyid terpaksa mengangguk heran, “Kok bisa orang secerdas ini!”

Jadi, Harun al-Rasyid sudah kehabisan akal untuk mengalahkan kecerdikan Abu Nuwas. Malah ia sangat menyukai Abu Nuwas. Selain menghibur, juga sebagai kawan cerdas bermain tebak-tebakan , Termasuk saat ditanya, “Di mana letak tengah bumi?”

Abu Nuwas menancapkan kayu, lalu, “Ini dia letak tengah bumi. Kalau tak percaya silakan ukur sendiri!”

Begitulah. Sehingga  kisah Abu Nuwas menjadi legenda. “Meskipun sebagian kisahnya fiktif, tapi saya punya kitab Abu Nuwas. Berisi cerita-cerita fiktif. Tapi tetap menarik dibaca. Saya suka pada sisi ilmiahnya.” ujar Gus Baha.

Ada filosofi di balik humor kisah Abu Nuwas. Semisal ini, Gus Baha menuturkan, pada suatu pesta, Abu Nuwas datang dengan memakai baju jembel. Baju orang awamlah. Akibatnya, ia diusir. “Ini undangan buat orang-orang perlente, orang-orang khusus, terpandanglah pokoknya. Jadi tidak mungkin kamu dapat undangan.” Kata penjaga pesta.

Abu Nuwas terusir. Dan, pulanglah dia. Kemudian, balik lagi ke pesta dengan memakai jas jubah bagus, celana bagus. Ia pun lantas disambut dengan penuh hormat. Penuh kehangatan. Ia dipersilakan makan dan minum sepuas mungkin.

Abu Nuwas kemudian mengambil anggur, dan dituang ke kantong jasnya. Berikut kantong celananya. “Ini semua untukmu, saya tak berhak.”

Abu Nuwas mengambil makanan, juga sama, ditumpahkan dalam kantong jasnya. Ke dalam kantong celananya. “Ayo jubah, ayo celana, makanlah! Ini hakmu. Karena kamulah yang sebetulnya disambut bukan aku.”

Orang-orang yang menyaksikan mengira Abu Nuwas itu gila. Nyaris digelandang keluar. Lantas si penyair itu pun menjelaskan, “Tadi saya datang, tapi diusir lantaran pakai baju-celana biasa. Namun, setelah ganti kostum, saya pakai jas dan celana bagus yang berharga mahal, saya disambut hangat. Saya dipersilakan makan. Dipersilakan minum. Berarti yang diundang ke pesta ini bukan saya, melainkan jas dan celana bagus ini.”

Akhirnya, orang-orang yang mengerumuni Abu Nuwas sadar, dan salah seorang dari mereka berkata, “Betapa bodohnya kami. Saya kira kamu gila, ternyata sebaliknya, justru teramat pintar.”

“Jadi kalau kapan-kapan kamu pakai jas, dan disambut hangat, maka yang berhak makan itu jasmu. Semua makanan itu adalah hak jasmu.” kelakar Gus Baha. “Itu aslinya pelecehan kan! Dan, betapa bodohnya orang-orang masa kini. Menghormati orang karena atribut luar yang dipakai. Menghargai karena baju yang dikenakan, bukan orangnya.”

Abu Nuwas, yang hidup pada abad ke-8, seolah mengingatkan kita hari-hari ini. Kemudian diceritakan pula oleh Gus Baha, suatu ketika Harun al-Rasyid berjalan-jalan, dan melihat ada seorang perempuan lagi mandi. Dulu model kamar mandi itu terbuka, sehingga sang khalifah bisa melihat rambut perempuan itu. Lalu dia memejamkan matanya, tapi tetap saja, teramat sangat membekas dalam benaknya. Dia tahu perempuan itu cantik. Dia tidak bisa tidur semalaman.