Akhirnya, orang-orang yang mengerumuni Abu Nuwas sadar, dan salah seorang dari mereka berkata, “Betapa bodohnya kami. Saya kira kamu gila, ternyata sebaliknya, justru teramat pintar.”
“Jadi kalau kapan-kapan kamu pakai jas, dan disambut hangat, maka yang berhak makan itu jasmu. Semua makanan itu adalah hak jasmu.” kelakar Gus Baha. “Itu aslinya pelecehan kan! Dan, betapa bodohnya orang-orang masa kini. Menghormati orang karena atribut luar yang dipakai. Menghargai karena baju yang dikenakan, bukan orangnya.”
Abu Nuwas, yang hidup pada abad ke-8, seolah mengingatkan kita hari-hari ini. Kemudian diceritakan pula oleh Gus Baha, suatu ketika Harun al-Rasyid berjalan-jalan, dan melihat ada seorang perempuan lagi mandi. Dulu model kamar mandi itu terbuka, sehingga sang khalifah bisa melihat rambut perempuan itu. Lalu dia memejamkan matanya, tapi tetap saja, teramat sangat membekas dalam benaknya. Dia tahu perempuan itu cantik. Dia tidak bisa tidur semalaman.
“Zina nggak berani, melupakan nggak bisa.” ungkap Gus Baha. Intinya, bingunglah sang khalifah terkenal di Dinas Abbasiyah itu. “Mau poligami pun rasanya tak pantas. Lha wong sudah beristri empat. Sudah tak bisa nambah pokoknya.” lanjut Gus Baha.
Akhirnya, Harun al Rasyid memanggil semua pujangga yang ada di kota Thus dan sekitarnya. Termasuk Abu Nuwas. Semua penyair datang dan membacakan syair. Namun, tidak ada yang bisa menenangkan sang khalifah. Hingga giliran Abu Nuwas, dan langsung ia bersyair bahwasanya ada seorang lelaki yang tersiksa karena melihat perempuan. Si laki-laki itu tak bisa tidur. Hendak zina tidak berani, melupakannya pun juga tak sanggup.
Harun al Rasyid, di tengah-tengah Abu Nuwas membacakan syair, bertanya: “Kamu ngintip ya?”
“Tidak, tidak.” jawab Abu Nuwas.
Semenjak itu, Harun al-Rasyid yakin bahwa Abu Nuwas itu mukhasyafah. Abu Nuwas itu hebat. Ia bisa membaca sesuatu di balik hijab. Semenjak itu Harun al Rasyid mengagung-agungkan Abu Nuwas. Kemudian, Abu Nuwas terkenal sebagai penyair besar, dan sekaligus sufi hebat.
Ada ungkapan terkenal dari Abu Nuwas: “Derajatku ini sudah seperti gelas putih yang bersih dan berisi air. Sekira orang melihat, seperti air tanpa gelas, atau sebagaimana gelas tanpa air. Jadi kewalianku dan kegilaanku itu telah menyatu.”
Benar-benar Abu Nuwas al-Hasan, seorang jadzab, sekaligus pintar. Namun, Harun al Rasyid juga pintar. Sampai-sampai Gus Baha pun mengirim fatihah kepada Harun al Rasyid. Gus Baha merasa masih berutang jasa pada Harun al Rasyid.