Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Jenaka Sang Penyair

Redaksi
×

Jenaka Sang Penyair

Sebarkan artikel ini

“Zina nggak berani, melupakan nggak bisa.” ungkap Gus Baha. Intinya, bingunglah sang khalifah terkenal di Dinas Abbasiyah itu. “Mau poligami pun rasanya tak pantas. Lha wong sudah beristri empat. Sudah tak bisa nambah pokoknya.” lanjut Gus Baha.

Akhirnya, Harun al Rasyid memanggil semua pujangga yang ada di kota Thus dan sekitarnya. Termasuk Abu Nuwas. Semua penyair datang  dan membacakan syair. Namun, tidak ada yang bisa menenangkan sang khalifah. Hingga giliran Abu Nuwas, dan langsung ia bersyair bahwasanya ada seorang lelaki yang tersiksa karena melihat perempuan. Si laki-laki itu tak bisa tidur. Hendak zina tidak berani, melupakannya pun juga tak sanggup.

Harun al Rasyid, di tengah-tengah Abu Nuwas membacakan syair, bertanya: “Kamu ngintip ya?”

“Tidak, tidak.” jawab Abu Nuwas.

Semenjak itu, Harun al-Rasyid yakin bahwa Abu Nuwas itu mukhasyafah. Abu Nuwas itu hebat. Ia bisa membaca sesuatu di balik hijab. Semenjak itu Harun al Rasyid mengagung-agungkan Abu Nuwas. Kemudian, Abu Nuwas terkenal sebagai penyair besar, dan sekaligus sufi hebat.

Ada ungkapan terkenal dari Abu Nuwas: “Derajatku ini sudah seperti gelas putih yang bersih dan berisi air. Sekira orang melihat, seperti air tanpa gelas, atau sebagaimana gelas tanpa air. Jadi kewalianku  dan kegilaanku itu telah menyatu.”

Benar-benar Abu Nuwas al-Hasan, seorang jadzab, sekaligus pintar. Namun, Harun al Rasyid juga pintar. Sampai-sampai Gus Baha pun mengirim fatihah kepada Harun al Rasyid. Gus Baha merasa masih berutang jasa pada Harun al Rasyid.

“Saya belum pernah melihat khalifah seperti Umar ibn Abdul Aziz, maksudnya selain sahabat Nabi saw, kalau sahabat sudah jelas derajatnya di atas beliau. Harun al-Rasyid adalah seorang raja. Yang namanya raja, ada saja sombongnya.  Sesaleh-salehnya raja, tetap saja raja. Sesaleh apa pun raja, tetap saja duduknya di atas singgasana. Dan kalau Musthofa menghadap, pasti duduknya di bawah. Karena dia raja, meskipun saleh.”

Suatu hari, sebagaimana diceritakan dalam kitab al-Manhaj al-Sawi, menghadaplah seorang penceramah yang sok suci, sok benar, kepada Harun al Rasyid. “Saya mau mengkritik Anda atas kesalahan-kesalahan Anda. Dan, kritik saya ini sangat pedas, sangat keras. Tolong jangan diambil hati! Jangan tersinggung!”

Harun al Rasyid menjawab santai, “Wahai mubalig bodoh! Apa alasanmu marah kepadaku dengan tanpa etika seperti itu? Bukankah Allah telah mengutus orang yang jauh lebih baik dari kamu, dikirim kepada orang yang lebih buruk dari aku. Allah mengutus Nabi Musa berdakwah kepada Firaun. Sekalipun begitu, Nabi Musa tetap diharuskan sopan kepada Firaun. Harus berbicara dengan baik dan halus! Lalu kamu yang bukan siapa-siapa, berbicara kepadaku sambil marah-marah? Hai orang bodoh, pulanglah! Otak bodoh kok kepingin menasehatiku.”

Kemudian, si mubalig itu meminta maaf kepada Harun al-Rasyid, “Ternyata Anda lebih pintar dari saya.”

“Maka, kiai yang sering kali memakai kekerasan harusnya mikir. Kurang hebat apa Nabi Musa! Dan, lebih buruk mana kemaksiatan sekarang dengan perbuatan Firaun. Itu pun Nabi Musa tetap diharuskan sopan kepada Firaun.” imbuh Gus Baha.

Ya, Harun al Rasyid, murid Imam Malik. Tak aneh, dia paham filosofi al-Quran. Dia pintar. Dia hanya kalah oleh Abu Nuwas. Berhadapan dengan orang jadzab itu ia kerepotan. Pernah, Harun al Rasyid mengadakan sayembara: “Siapa pun yang punya cerita yang bisa membuatku tidur, akan saya beri hadiah.”

Lalu datang seorang ahli cerita 1001 Malam. Dia bercerita dengan asyiknya. Ketika sudah pukul 23.00, “Lho saya kok tidak bisa tidur, berarti kamu gagal. Karena tak bisa menidurkanku.” potong Harun al Rasyid.