“Saya belum pernah melihat khalifah seperti Umar ibn Abdul Aziz, maksudnya selain sahabat Nabi saw, kalau sahabat sudah jelas derajatnya di atas beliau. Harun al-Rasyid adalah seorang raja. Yang namanya raja, ada saja sombongnya. Sesaleh-salehnya raja, tetap saja raja. Sesaleh apa pun raja, tetap saja duduknya di atas singgasana. Dan kalau Musthofa menghadap, pasti duduknya di bawah. Karena dia raja, meskipun saleh.”
Suatu hari, sebagaimana diceritakan dalam kitab al-Manhaj al-Sawi, menghadaplah seorang penceramah yang sok suci, sok benar, kepada Harun al Rasyid. “Saya mau mengkritik Anda atas kesalahan-kesalahan Anda. Dan, kritik saya ini sangat pedas, sangat keras. Tolong jangan diambil hati! Jangan tersinggung!”
Harun al Rasyid menjawab santai, “Wahai mubalig bodoh! Apa alasanmu marah kepadaku dengan tanpa etika seperti itu? Bukankah Allah telah mengutus orang yang jauh lebih baik dari kamu, dikirim kepada orang yang lebih buruk dari aku. Allah mengutus Nabi Musa berdakwah kepada Firaun. Sekalipun begitu, Nabi Musa tetap diharuskan sopan kepada Firaun. Harus berbicara dengan baik dan halus! Lalu kamu yang bukan siapa-siapa, berbicara kepadaku sambil marah-marah? Hai orang bodoh, pulanglah! Otak bodoh kok kepingin menasehatiku.”
Kemudian, si mubalig itu meminta maaf kepada Harun al-Rasyid, “Ternyata Anda lebih pintar dari saya.”
“Maka, kiai yang sering kali memakai kekerasan harusnya mikir. Kurang hebat apa Nabi Musa! Dan, lebih buruk mana kemaksiatan sekarang dengan perbuatan Firaun. Itu pun Nabi Musa tetap diharuskan sopan kepada Firaun.” imbuh Gus Baha.
Ya, Harun al Rasyid, murid Imam Malik. Tak aneh, dia paham filosofi al-Quran. Dia pintar. Dia hanya kalah oleh Abu Nuwas. Berhadapan dengan orang jadzab itu ia kerepotan. Pernah, Harun al Rasyid mengadakan sayembara: “Siapa pun yang punya cerita yang bisa membuatku tidur, akan saya beri hadiah.”
Lalu datang seorang ahli cerita 1001 Malam. Dia bercerita dengan asyiknya. Ketika sudah pukul 23.00, “Lho saya kok tidak bisa tidur, berarti kamu gagal. Karena tak bisa menidurkanku.” potong Harun al Rasyid.
Berikutnya datang lagi seorang ahli cerita, dan ceritanya memang mengasyikkan. Dan lagi-lagi, hingga larut malam, Harun al Rasyid tetap tak bisa tidur, diusirlah orang tersebut. Terakhir dipanggillah Abu Nuwas.
“Ada semut,” Abu Nuwas memulai cerita, “masuk ke telinga. Semut itu penasaran apa isi telinga. Setelah masuk, baunya busuk, semut itu pun keluar. Setelah keluar, ia masih penasaran, masuk lagi ke dalam telinga. Dan, ternyata tetap menemu bau busuk, lalu keluar. Begitu di luar, ia penasaran lagi, lalu masuk dan keadaan tetap sama, keluar lagi.”