Kedua sejoli itu saling mengobrol mengenang masa lalu mereka. Canda dan sedikit kemesraan yang telah lama terpendam dalam hati, tercurahkan di sebuah percakapan yang akrab tetapi terasa kikuk. Mengingat bahwa mereka sangat sulit untuk menjalin hubungan kembali.
“Cecil, hari sudah malam, ayuk kita pulang! Kamu gak pakai motor, kan?”
Baiklah, tapi antar, ya! Aku capek jalan kaki dari rumah tadi,” jawab Cecil.
“Oke, Tuan Putri. Hamba laksanakan!” Rendy pun bersemangat.
Dengan hati berbunga-bunga keduanya berboncengan melaju pulang ke arah rumah Cecil. Namun ketika sampai di ujung gang yang agak jauh dari rumahnya, Cecil meminta untuk turun.
“Sini saja, Mas Rendy. Cecil gak mau kalau sampai rumah. Takut sama Ayah dan ibu,” kata Cecil turun dan berlari.
“Baiklah tapi …, lho …?” Rendy menengok ke belakang hendak berkata, namun Cecil telah hilang dari pandangannya dengan meninggalkan jepit rambut emas yang terjatuh di jalanan.
Kemudian Rendy pun memungut jepit rambut itu seraya berpikir hendak dikembalikannnya perhiasan emas milik Cecil itu ke rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Dengan keberanian yang dikumpulkannya, Rendy berkunjung ke rumah Cecil yang ternyata telah ramai oleh para tetangga.
“Assalamualaikum. Maaf, Pak. Saya teman Cecil, bisa bertemu dengannya? Ada apa ya, kok ramai sekali? Ada hajatankah?” tanya Rendy bingung kepada salah seorang tetangga.
“Waalaikumsalam. Adek ini teman Cecil? Apakah tidak mendengar kabar tentangnya? Cecil sudah tiada,” kata Pak Usman seorang tetangga.
“Ah … Bapak bercanda. Saya tadi mengantar Cecil pulang dari Telaga Bening sana itu. Lalu berniat mau mengembalikan jepit rambut emasnya yang terjatuh di jalanan ketika berlari ke sini. Malah Bapak bicara bahwa Cecil sudah tidak ada? Jangan macam-macam Bapak ini,” kata Rendy sedikit jengkel.
“Nak, memang Cecil sudah tidak ada alias meninggal dunia! Tenggelam di Telaga Bening sana itu dengan indikasi dibunuh oleh tunangannya sendiri si Aldi yang sudah tertangkap! Kok saya malah dituduh bicara macam-macam? Kami para tetangga dan keluarganya sedang berkabung seminggu ini!” ujar Pak Usman.
“Apa?!! Jadi-jadi …!” jawab Rendy terkejut sambil terduduk berlutut di tanah masih memegangi jepit rambut Cecil.
Mendengar penjelasan Pak Usman itu, bak petir menggelegar menghancurkan hati Rendy karena berita Cecil yang sangat menyedihkan.
Sendi tulang Rendy terasa kelu tak bertenaga. Keringat dingin mengucur deras dari wajahnya. Saat itulah Siska–kakak Cecil– keluar dari dalam rumah menemui kedua orang yang sejak tadi dilihatnya.