JAM di ruangan loby kantor berdentang 8 kali, pertanda malam sudah menjemput. Hawa dingin pun mulai menyergap tubuh Ahmad. Beberapa kali lelaki itu membetulkan kancing jaketnya untuk mengusir hawa dingin.
Di luar hujan sedari tadi siang sepertinya belum terlihat letih menumpahkan muatannya. Kaca-kaca jendela kantor mulai buram oleh embun. Jalan di depan kantor pos tempat Ahmad bekerja bukan hanya terlihat gelap tetapi juga lengang. Hanya sesekali saja terdengar bunyi derit rantai becak dan derum mesin sepeda motor atau mobil yang melaju malas membelah rintik hujan.
Suka tidak suka, sebagai petugas pengantar surat, Ahmad harus menyelesaikan tugasnya hari ini juga karena besok pagi libur Natal. Ia tidak ingin surat-surat itu terlambat sampai ke alamat yang dituju. Satu per satu surat-surat itu ia pisahkan menurut kode posnya masing-masing untuk mempermudah dalam pengantaran.
Dari kode pos itulah Ahmad dapat mengetahui daerah mana saja rute pengantarannya kali ini. Ahmad terlihat bingung ketika tangannya menjumput surat terakhir. Lama sekali ia tertegun mengamati amplop berwarna merah bata dengan gambar pohon natal dan dua buah lonceng di salah satu sudut amplopnya. Berkali-kali Ahmad hanya dapat menghela nafas panjang.
“Ke manakah surat ini harus Aku antar?” tanya hati Ahmad bingung.
“Paling-paling pengirimnya orang kurang waras,” gumam Ahmad seketika sambil membalik amplop berwarna merah bata tersebut. Lama sekali Ahmad mengeja alamat pengirim surat yang tertera di balik amplop tersebut.
“Dasar anak-anak,” gumam Ahmad lagi setelah membaca nama dan mengamati tulisan tangannya. Tulisan tangan itu terlihat kurang rapi dan banyak coretan di sana-sini.
“Mungkin saja ini adalah surat pertama yang ditulisnya,” bisik hati Ahmad sekali lagi sembari meletakkan kembali surat tersebut di atas meja kerjanya.
“Atau sebaiknya aku baca saja isi surat ini. Eh tapi bukankah perbuatan itu melanggar sumpahku sebagai petugas pos,” bisik hati Ahmad seketika tatkala tangannya hendak meraih kembali surat yang baru saja ia letakkan tersebut.
“Ataukah sebaiknya aku antar saja surat ini ke Gereja?” bisik hati Ahmad ragu-ragu.
“Surat yang aneh, seumur-umur Baru kali ini aku mendapati surat seperti ini, pikir Ahmad kembali sembari tersenyum tipis dan menepuk jidatnya. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar bunyi lonceng Gereja yang terbawa angin malam. Mungkin misa natal sudah dimulai.
Entah bagaimana akhirnya Ahmadpun memberanikan diri untuk membuka surat tersebut. Dalam hati ia merasa bersalah karena telah membuka surat yang semestinya harus ia jaga. Hati-hati sekali Ahmad membuka amplop surat tersebut. Ia tidak ingin merusaknya sedikitpun.
Beberapa kali ia harus menggunakan alat bantu pembuka rekatan lem agar tidak merusak sedikitpun amplopnya.
“Tuhan Yesus yang baik,….”
Begitulah kalimat pembuka surat yang dialamatkan kepada Tuhan Yesus tersebut. Seketika itu juga jantung Ahmad seperti berdetak lebih kencang daripada biasanya. Hampir saja surat itu terjatuh. Entah bagaimana jari-jemarinya seperti bergetar tak karuan.
“Tuhan! Ini sudah Natal ke dua sejak bapakku meninggal. Ibu pun sering jatuh sakit. Akibatnya aku harus sering membolos. Karena harus merawat ibu.”
Demi membaca paragraf ke dua surat tersebut, tak terasa mata Ahmad berkaca-kaca sembab oleh air mata. Angannya melayang membayangkan raut muka kesedihan gadis kecil si penulis surat tersebut.