Scroll untuk baca artikel
Blog

Kado Natal untuk Cicilia – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Kado Natal untuk Cicilia – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Entah bagaimana akhirnya Ahmadpun memberanikan diri untuk membuka surat tersebut.  Dalam hati ia merasa bersalah karena telah membuka surat yang semestinya harus ia jaga.  Hati-hati sekali Ahmad membuka amplop surat tersebut.  Ia tidak ingin merusaknya sedikitpun. 

Beberapa kali ia harus menggunakan alat bantu pembuka rekatan lem agar tidak merusak sedikitpun amplopnya.

“Tuhan Yesus yang baik,….”

Begitulah kalimat pembuka surat yang dialamatkan kepada  Tuhan Yesus tersebut.  Seketika itu juga jantung Ahmad seperti berdetak lebih kencang daripada biasanya.  Hampir saja surat itu terjatuh.  Entah bagaimana jari-jemarinya seperti bergetar tak karuan.

“Tuhan!  Ini sudah Natal ke dua sejak bapakku meninggal.  Ibu pun sering jatuh sakit.  Akibatnya aku harus sering membolos.  Karena harus merawat ibu.”

Demi membaca paragraf ke dua surat tersebut, tak terasa mata Ahmad berkaca-kaca sembab oleh air mata.  Angannya melayang membayangkan raut muka kesedihan gadis kecil si penulis surat tersebut. 

“Sudah dua natal pula ibu tak sanggup untuk membuat pohon natal.  Kata Ibu, uangnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.  Ibu juga tidak membelikanku baju baru buatku.  Padahal aku ingin sekali punya baju baru seperti milik Sisca atau Maria.”

Sekali lagi pipi Ahmad basah oleh butiran air matta yang sungguh tak dapat ia bendung.  Padahal ia sama sekali tidak mengenal gadis kecil yang menulis surat untuk Tuhan Yesus tersebut.  Dadanya terasa sesak sekali.

“Apakah tuhan Yesus sudah lupa padaku?Mungkin karena aku miskin sehingga Tuhan Yesus dapat begitu saja melupakanku?  Tapi Bukankah seharusnya Engkau datang kepadaku yang lemah ini?”

Demi membaca paragraf keempat tersebut, dada Ahmad seperti dihimpit oleh benda yang teramat berat.  Ingatannya segera melayang pada Nuning anak perempuannya yang mungkin seusia dengan gadis penulis surat tersebut.  Malam ini mungkin Nuning tengah bersendau gurau dengan ibu, kakek, nenek serta kakaknya menikmati tayangan TV.  Meski tak ikut merayakan Natal, Nuning pastilah ikut bergembira karena besok pagi libur sekolah. 

“Tuhan Yesus,… Datanglah padaku meski hanya dalam mimpi.  Itu sudah cukup bagiku.  Natal tahun ini Ibu juga tak membuat kue Natal.  Namun begitu aku tetap bersuka cita karena Aku masih memiliki seorang Ibu.  Aku tidak dapat membayangkan andai saja Engkau juga mengambil ibuku sekalian seperti Diana yang kini sudah yatim piatu.  Pastilah ia lebih sedih ketimbang diriku.”