“Siapa di luar? Kami orang miskin tak punya apa-apa. Pergilah! Jangan ganggu Kami.” Ucap suara dari dalam rumah yang mirip gubuk tersebut. Mendengar perkataan tersebut, sekali lagi dada Ahmad seperti dihantam oleh benda berat. Lagi-lagi air matanya menetes.
“Saya Ahmad. Saya petugas Pos. Ini ada kiriman untuk anak ibu,” sahut Ahmad dengan nada yang ramah. Lama sekali tidak terdengar jawaban dari dalam rumah. Hanya terdengar suara tangis. Mendengar suara tangis yang sedemikian memilukan itu, lagi-lagi dada Ahmad terasa sesak dibuatnya.
“Kalau memang benar Bapak adalah tukang pos, Sebutkan nama pengirim paket tersebut? “ sahut suara di dalam rumah tersebut seperti ketakutan. Ahmad sendiri bingung ketika harus menyebutkan nama si pengirim paket tersebut. Lelaki pengirim surat itu hanya terdiam tak tahu harus menjawab apa. Pikirannya diliputi kebingungan.
“Pergilah! Jangan ganggu Kami. Kami tidak punya apa-apa,” sekali lagi suara di balik pintu itu seperti mengusir Ahmad. Nada suaranya bergetar menahan ketakutan
“Percayalah! Saya bukan orang jahat. Saya hanya petugas pos yang hendak mengantar paket untuk Cicilia. Mohon maaf kalau mengantarnya kemalaman karena hari ini banyak sekali surat yang harus diantar. Sementara besok pagi kantor libur,” jawab Ahmad berusaha memberi penjelasan. Rupanya penjelasan Ahmad yang terakhir ini membuat perempuan yang ada di dalam rumah itu percaya dan tidak ketakutan lagi. Berikutnya barulah pintu rumah terkuak sedikit. Terlihat wajah perempuan setengah baya dengan rona muka yang pucat seperti menahan rasa sakit.
Bergegas Ahmad pun segera menyerahkan bungkusan kepada perempuan setengah baya tersebut. Seketika itu juga perempuan itupun menerima dan mendekapnya dengan erat-erat sambil menangis sesenggukan. Melihat itu semua, hati Ahmad semakin luluh lantak dibuatnya. Lama sekali perempuan itu larut dalam tangisnya tanpa memperdulikan Ahmad yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru tersadar ketika Ahmad hendak meminta ijin pulang.
“Cicilia sudah mati! Tadi pagi, seorang pengendara mobil berplat merah yang dikawal polisi telah menabraknya.” Ucapnya kemudian sambil menatap lekat-lekat wajah Ahmad. Suaranya terdengar parau menahan pilu.
“Pagi tadi aku menyuruhnya membeli obat di warung seberang jalan sana. Mungkin ia tidak menengok ke kanan dan ke kiri tatkala hendak menyeberang jalan. Mungkin saja ia tergesa-gesa,” sambungnya lagi tanpa dapat menyembunyikan kesedihannya. Suaranya terdengar sedemikian lemah. Belum sempat Ahmad menjawabnya, tiba-tiba saja tubuh perempuan itu terlihat limbung. Dan sedetik kemudian tubuh itu telah jatuh tersungkur. Berkali-kali mulutnya memanggil Cicilia hingga akhirnya suara itupun seperti lenyap ditelan kesunyian. Dan ketika tangan Ahmad meraba urat nadinya, detak nadi perempuan itu pun telah lenyap.