DULU, kau dengan gagahnya berbangga memiliki deretan perempuan yang begitu mencintaimu. Mereka semua memberikan perhatian dan kasih sayang yang memang selayaknya didapatkan oleh pasangan kekasih.
Namun, setelah bertemu denganku justru duniamu jungkir balik. Aku 180 derajat berbeda dari mantan-mantanmu itu. Aku mematahkan hati, menginjak harga dirimu.
Aku tak pernah berlaku lemah lembut. Aku tak suka diperintah. Dan, beberapa kali juga diriku berkhianat.
Kau menelan ludah. Mengelus dada. Katamu, “Anggap saja kau karmaku. “
Aku mungkin menang telak jika ini adalah pertandingan. Tapi, tunggu dulu, apakah ini pertanda hatiku sudah benar-benar mati? Hingga tanpa henti menyerangmu membabi buta.
Suatu hari aku pernah melihat air matamu menetes. Setelah kau menemukan bukti pengkhianatanku yang kesekian kalinya.
Aku pun menangis. Menyesal. Tapi tak berlangsung lama, aku mengulanginya lagi.
Kau pun marah. Menghilang. Datang dan berikan kesempatan lagi.
Entah kau malaikat dari mana? Dimana sayapmu disembunyikan? Aku terdiam dalam penuh pertanyaan.
Kata mereka, “Laki-laki kalau dikhianati, hatinya terluka.”
Itu salah. Laki-laki lebih terluka harga dirinya ketimbang hatinya karena itu yang ku lihat dari dirimu. Harga dirimu terkoyak hingga saking putus asanya kau ucapkan, “Tidak ada lagi kesempatan untukmu. Ini terakhir kalinya kau berulah. Setelah ini, tidak ada lagi aku”.
Aku menyerah. Namun, permainan belum usai. Dalam perjalanan ini, aku putuskan agar mengakhirinya setelah aku benar-benar yang mampu menggantikan dirimu.
Saat itu terjadi, aku akan katakan kepadamu, “Terima kasih telah membersamaiku selama ini. Meski, aku hanya memberikan kepahitan, tapi kau telan semuanya pelan-pelan hingga jadi kebiasaan.”
Hari demi hari yang kita lalui tak lagi berarti.
Kini justru, semakin bertambahnya usia semakin sadar tak ada waktu yang boleh disia-siakan. Aku melepaskanmu karena bagiku menjalin hubungan sama dengan mengurangi waktu yang seharusnya bisa ku manfaatkan untuk hal lain.
Bukan, bukan berarti aku tidak lagi mencintaimu. Tapi, ini tentang aku yang tak lagi ingin menghabiskan waktu dengan romansa picisan penuh rayuan memuakkan.
Aku bukan gadis lugu yang akan tersipu saat kau datang membawa bingkisan dan kau tahu itu. Aku mulai merasakan kebosanan dengan hubungan kita ini.
Jangan salah sangka. Bukan salahmu jika aku berubah dan mengambil sikap seperti ini.
Hanya saja aku ingin menikmati kebebasanku. Ya, kebebasanku jauh sebelum aku mengenalmu.
Mungkin kau mengira sebelumnya aku begitu tergila-gila padamu. Hingga, aku takut kehilanganmu. Ya, mungkin saja. Tapi, aku sudah benar-benar lelah.
Aku tak punya banyak waktu untuk diriku sendiri. Jika waktu senggang ku habiskan denganmu, bagaimana aku bisa memanjakan diriku sendiri?
Kau bisa saja melakukannya. Tapi, aku lebih suka menghabiskannya untukku sendiri, tidak lagi denganmu.
Ini mungkin terdengar seperti alasan bagimu. Tapi, percayalah, kini aku sadar bahwa aku lebih mencintai diriku sendiri.
Kau terdiam di sana. Seolah tahu hal ini akan terjadi.
Saat ku beranjak, kau mencoba meraih tanganku. Namun, aku menepisnya dan lari dari hidupmu yang telah membuatku jauh lebih baik.
Berhentilah berusaha keras untuk menyakinkanku untuk mempertahankan hubungan ini. Sebab, aku tak kan goyah.
Kau tahu betul betapa kerasnya aku ketika menginginkan sesuatu. Ini salah satunya. Lepas dari hubungan yang tak lagi ku inginkan.
Berhentilah berusaha. Berbahagialah kau di sana. Sebab, kau dan aku sudah berakhir.
Tak ada lagi kita, hanya dua orang asing.