“Hal ini lah yang kemudian menyebabkan negara dapat berperilaku layaknya negara otoriter,” kata Fadhil Hasan.
Kedua, over-reacting agent yang dilakukan untuk merespons beberapa isu, di antaranya: terhadap kasus penembakan FPI di akhir tahun 2020, kasus baliho oleh Kodam Jaya, penangkapan aktivis oleh polisi di sosial media. Alasan kedua ini, menurut Fadhil, pada akhirnya membawa bangsa ini ke dalam situasi yang mendukung anarki aparat.
Ketiga, persaingan elite deep state atau perang proxy antarelite di lingkungan kekuasaan. Hal ini dicerminkan oleh kasus penangkapan Djoko Tjandra dan kasus belum terungkapnya pembakaran kantor jaksa.
“Perang proxy ini berpotensi untuk memunculkan chaos (kekacauan) dalam pengambilan keputusan atas suatu kebijakan.” katanya
Terakhir, poin ke empat, ialah terkait dengan keberlanjutan oligarki kekuasaan yang pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan dan kemiskinan dalam suatu negara.
“Untuk menjawab permasalahan yang diakibatkan oleh kemunduran demokrasi, maka konsolidasi masyarakat harus lebih konsisten dan kuat, diiringi oleh penyadaran yang berkelanjutan dari segi pemikiran,” kata Fadhil Hasan.
Dalam hal tersebut, kemampuan masyarakat untuk menggunakan media ditengarai dapat menjadi salah satu kunci permasalahan kebebasan sipil. Masyarakat harus mampu mengambil kesepakatan pada satu konsensus, tidak terpecah-pecah, agar proses konsolidasi sipil dapat diwujudkan. []