“Mungkin saat ini perbedaan kecerdasan di antara elite berpendidikan dan masyarakat terlalu besar, sehingga mereka tidak bisa saling berbicara, kecuali untuk bertukar kebencian.” Tom Nichols
BARISAN.CO – Kebencian ada di mana-mana. Terkadang kita menggunakannya untuk menekankan sesuatu yang tidak kita sukai atau terasa sangat tidak nyaman.
Undang-undang khusus bahkan telah dibuat untuk menangani kejahatan kebencian ini. Sebuah penelitian University of Amsterdam mengungkapkan, kita cenderung membenci orang atau kelompok lebih karena siapa mereka daripada apa yang mereka lakukan.
Dalam buku The Death of Expertise karya Tom Nichols disebutkan, debat publik kini berubah menjadi perang parit untuk membuktikan pihak lawan salah.
Tom menyampaikan, kita semua memiliki sifat dan kecenderungan alami untuk mencari bukti yang sejalan dengan keyakinan kita. Konon, otak kita memang dirancang demikian sehingga kita malah berdebat.
“Mungkin saat ini perbedaan kecerdasan di antara elite berpendidikan dan masyarakat terlalu besar, sehingga mereka tidak bisa saling berbicara, kecuali untuk bertukar kebencian. Mungkin pembicaraan dan perdebatan gagal karena salah satu atau kedua pihak memang bodoh,” tulisnya.
Debat yang adil adalah jantung demokrasi. Namun, seperti yang diungkapkan The Social Dillema, algoritma media sosial memperkuat kemarahan dan mengikis kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam argumen konstruktif.
Platform seperti Twitter dan Facebook telah menciptakan budaya online beracun dengan merendahkan wacana publik dan mempromosikan ruang gema (echo chamber) ideologis yang meningkatkan keberpihakan serta permusuhan antara mereka yang memiliki pandangan berbeda tentang politik atau sosial.
Outlet media tradisional telah berjuang sebagai penjaga demokrasi dengan menjaga fakta dan kebenaran dalam wacana publik. Sementara, outlet media sosial memungkinan penyebaran luas informasi palsu, memecah belah, dan sering kali merusak.
Tahun 2018 silam, penelitian dari MIT menemukan, fake news (berita palsu) jauh lebih cepat menyebar di jejaring sosial Twitter. Penelitian itu mengungkapkan, penyebaran informasi palsu lebih cepat terjadi pada dasarnya bukan karena bot yang diprogram melainkan karena orang-orang me-retweet item berita tidak akurat.
Penelitian yang diterbitkan di Science itu juga menyebut, berita palsu 70 persen lebih mungkin untuk di-retweet daripada berita akurat yang membutuhkan waktu sekitar 6 kali lebih lama menjangkau 1.500 orang.
Namun, sebuah jurnal di Nature mengungkapkan, lebih dari 80 persen responden sebenarnya tidak ingin membagikan berita palsu. Penelitian itu juga menunjukkan, kenyataannya bukan motivasi partisan yang membuat orang gagal membedakan konten berita benar atau salah, melainkan malas berpikir.
Orang-orang yang jatuh cinta pada berita palsu kala mereka mengandalkan intuisi dan emosi, dan karena itu, tidak cukup memikirkan apa yang mereka baca. Sementara, di antara berita palsu, penelitian itu mengungkapkan, 50 persen lebih banyak dibagikan daripada yang dinilai akurat.
Seberapa banyak keterlibatan yang akan diperoleh atas postingan kita, seberapa banyak teman yang akan menikmatinya, atau apa yang mereka perbincangkan tentang identitas kita juga menjadi pertimbangan yang dapat mengalihkan perhatian kita apakah konten berita itu akurat atau tidak sebelum dibagikan. Ini tentu difasilitasi dengan adanya gelembung filter.
Mengutip FS, istilah tersebut mengacu pada hasil algoritma yang menentukan apa yang kita temui saat online. Menurut Eli Pariser, algoritma tersebut menciptakan alam semesta informasi yang unik untuk kita masing-masing, yang secara mendasar mengubah cara kita menemukan ide dan informasi.
Kedengarannya tidak terlalu buruk, tetapi gelembung filter menciptakan ruang gema. Kita berasumsi, semua orang berpikir sama dengan kita dan lupa bahwa orang lain mungkin memiliki perspektif berbeda.