Scroll untuk baca artikel
Blog

Kebijakan (belum) Merdeka Belajar

Redaksi
×

Kebijakan (belum) Merdeka Belajar

Sebarkan artikel ini

MUNGKIN karena temuan Howard Gardner. Banyak orang terlepas dari stigma bodoh. Gagasan Gardner tentang multiple intelligence selaras dengan pandangan Einstein bahwa setiap manusia itu cerdas.

Menurut Gardner, kecerdasan itu tidak tunggal. Setidaknya ada sembilan jenis kecerdasan. Diantaranya kecerdasan kinestetik, kecerdasan seni, kecerdasan logika-matematika dll.

Setiap manusia menonjol satu atau dua jenis kecerdasan. Antara satu dengan lainya tidak bisa dibandingkan. Setiap jenis kecerdasan punya keuggulan masing masing.

Ikan itu cemerlang berenang di kolam. Ia akan tampak bodoh jika disuruh memanjat di pohon. Sampai kapanpun ikan akan merasa bodoh jika yang diminta adalah memanjat. Kodrat ikan adalah berenang. Begitu kira kira pandangan Einstein.

Seiring dengan Gardner dan Einstein. Ki Hajar Dewantoro berpandangan bahwa setiap manusia sudah membawa kodratnya sendiri. Pendidikan itu, kata Bapak Pendidikan Indonesia, hanya menutun (among), agar manusia tumbuh sesuai kodratnya

Pendidikan itu harus membebaskan manusia dari semua bentuk tekanan dan ancaman yang melawan kodrat. Pendidikan ibarat taman, sebuah tempat indah dan menyenangkan. Di taman itu manusia mengekapresikan dan mengaktualkan diri secara bebas.

Taman adalah tempat siswa bermain riang. Taman adalah kolam tempat ikan berenang bebas. Taman adalah pepohonan rindang yang monyet lincah memanjat.

Konsep Ki Hajar Dewantoro inilah yang menjadi inspirasi Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar. Nadiem menginginkan sekolah itu sebuah ‘taman belajar’ yang menyenangkan. Kebijakan Mas Menteri hendak membebaskan siswa dari belenggu Ikan memanjat pohon.

Spirit pembebasan itu yang hari ini bergaung keras dan riuh. Sebuah harapan baru yang sedang dinantikan banyak pihak.

Akankah kebijakan merdeka belajar berhasil? Adalah waktu yang akan menjawab. Namun bayang kegagalan itu untuk sebagian tampak di depan mata. Bukan semata soal implementasi, tapi dari struktur dan bangunan kurikulum masih ada persolan besar yang belum terpecahkan.

Satu contoh sederhana saja. Sampai hari ini, seluruh lulusan Sekolah Dasar (SD) melanjutkan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Desain SMP adalah tangga menuju SMU untuk selanjutnya ke Universitas.

SMP adalah sekolah umum yang berkutat pada wilayah, dalam istilah Gardner, kecerdasan logis matematis. Pelajaran SMP menekankan kemampuan berfikir konseptual, membedah pola numerik dan logika serta menemukan pola berfikir abstrak. Area ini memerlukan kesiapan tersendiri baik yang bersifat kemampuan maupun minat.

Drost, seorang pengamat dan praktisi pendidikan berpendapat, hanya 30 – 40 % dari lulusan SD yang mampu dan siap mengikuti jenjang SMP. Sisanya, secara alamiah mayoritas siswa akan mengalami kesulitan. Mereka bukan bodoh. Potensi kecerdasan mereka pada wilayah kecerdasan lain, tapi pilihan itu tak ada.

Penjenjangan sekolah itu menjadi tidak rasional dan problem. Menyatukan dalam satu keranjang antara yang mampu dan tak mampu bisa dipastikan mutu pendidikan secara umum akan rendah. Kondisi ini menjadi bisa dipahami mengapa indikator seluruh survei (nasional dan internasional) rendah.

Masalah seriusnya tidak sampai disitu. Pendidikan kita seperti kata Eintein, ikan sampai kapanpun tampak bodoh jika arenanya memanjat. Pun dengan kuda yang harusnya lincah berlari, tapi akan tampak bodoh ketika ajangnya memanjat.

Namun apa daya, tak ada pilihan bagi ikan atau kuda selain memanjat. Mayoritas lulusan SD yang beragam potensi kecerdasannya harus masuk satu jalur saja. Mereka pasti tak berkembang, tertekan dan tampak bodoh sampai kapanpun. Kondisi ini bisa menjadi satu sinyal kecil saja dari dinamika kebijakan Merdeka Belajar.