BARISAN.CO – Awalnya, tujuan utama media sosial ialah sebagai sarana penghubung antarpengguna dengan mencakup wilayah yang begitu luas. Namun, jika melihat realitas sekarang, media sosial mulai bergeser ke arah pertunjukan “show off”.
Beberapa orang pamer untuk mendapat kepuasan. Beberapa orang lainnya pamer sekaligus dagang pengaruh demi promosi produk. Pada jenis yang kedua, selain mereka mendapat kepuasan, mereka juga biasanya berhasil mengeruk pundi-pundi rupiah dari pengguna lain.
Fungsi ‘sosial’ medsos pelahan-lahan telah berganti menjadi fungsi ‘pasar’. Media sosial menjadi pasar yang demikian riuh. Dan itulah alasan bagi segelintir orang pada akhirnya meminimalisir penggunaan media sosial, kecuali untuk hal-hal yang diperlukan.
Pada tahun 2014, City University of New York mengamati setidaknya 7,5 juta postingan di Instagram yang dibagikan di Manhattan menyimpulkan lingkungan kaya secara dramatis ditampilkan secara berlebihan, termasuk dari mereka yang tinggal di bagian kota yang jauh lebih miskin.
Seorang penulis politik dan budaya Amerika, Virginia Postrel, menyebut bahwasanya orang kaya di tempat miskin cenderung ingin memamerkan kekayaan mereka. Sementara, mereka yang kurang mampu akan merasakan tekanan untuk berpura-pura agar tidak terlihat miskin. Ironisnya, mereka yang pamer dengan mudah mendapatkan sponsor untuk barang-barang, liburan, bahkan juga pernikahan mewah.
Media sosial kini membuat pamer menjadi lebih mudah dan menarik. Beberapa orang bahkan akan membagikan foto dengan berdiri di depan mobil yang tidak diketahui pemiliknya. Banyak orang yang begitu berjuang untuk memberikan kesan bahwa kehidupan yang dijalani penuh keglamoran.
Adapun beberapa alasan orang kaya menunjukkan kekayaan mereka kepada dunia melalui media sosial, ialah seperti berikut ini:
- Mereka yang memamerkan kekayaan mereka bisa jadi disebabkan oleh rasa tidak aman dan keinginan kuat untuk diterima terutama bagi kaum muda yang telah memperoleh banyak kekayaan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
- Analisis perilaku menunjukkan bahwa beberapa orang kaya memamerkan kekayaan mereka dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam memahami pentingnya hubungan, termasuk hubungan sosial secara perspektif yang benar.
- Beberapa di antara mereka menganggap bahwa uang dapat membeli segalanya, termasuk kebahagiaan. Dengan memamerkan kekayaan misalnya dengan membeli barang mahal, mereka akan memperoleh kebahagiaan dengan melihat like, comment ataupun bertambahnya jumlah followers.
Memang terdapat pro-kontra tentang memamerkan kekayaan di media sosial. Ada yang menganggap bahwa tidak ada yang salah dengan pamer, namun yang lainnya percaya bahwa kesetaraan dan keadilan merupakan kebajikan moral yang amat penting.
Bagi yang kontra, para orang-orang yang pamer itu akan membuat ketimpangan kelas sosial. Mereka beranggapan bahwa sifat pamer sebagai manifestasi kekuasaan, ketidaksetaraan sosial, dan juga pemborosan. Karena itulah, mereka yang tampil mewah bertentangan dengan nilai moral dan dianggap bersalah.
Pada sebuah penelitian Society for Personality and Social Psychology ditemukan bahwa budaya Asia dan konservatif cenderung menghargai tatanan sosial. Orang-orang tajir di Asia barangkali memang senang dengan pencapaian materi. Tak salah jika penjualan produk mewah lebih tinggi dibandingkan di negara-negara Barat.
Media sosial mungkin dapat membuat koneksi jejaring sosial, namun di sisi lain memperburuk ketimpangan yang terjadi. Begitu jelas terlihat bahwa ada orang-orang yang tergabung secara ekslusif dengan menggunakan standar tertentu ke dalam geng sosialita. Bagi yang di luar standar, bermimpilah dapat menjadi bagian di dalamnya. []