BARISAN.CO – Dewasa ini, berkenaan dengan isi kitab kuning, apa pun kitabnya, tidak ada alasan buat siapa saja untuk mengatakan “saya tidak tahu” atau “saya belum pernah baca”.
Dulu memang, setidaknya ketika saya masih remaja, masih berlaku bahwa pemegang otoritas kitab kuning hanya dimiliki oleh pesantren salaf. Ingat, ya, pesantren salaf, karena selain pesantren yang bercorak salaf, biasanya juga tidak familiar dengan kitab kuning. Saya mengalami begitu, mondok di sebuah pesantren di bawah naungan organisasi modern Muhammadiyah, tiga tahun di siitu, sama sekali tidak pernah ada acara membaca matan beserta kitab syarahnya dari sebuah kitab kuning.
Kini, kitab kuning serasa sudah menjadi milik bersama. Milik publik. Para kiai muda dan ustaz menyelenggarakan ngaji kitab kuning secara terbuka, secara daring. Siapa saja yang berminat, dari mana saja, bisa langsung turut menyimak, tanpa harus terpaku pada adab ala pesantren salaf: mencium punggung tangan sang kiai, tanda takzim.
Penerbit buku di negeri ini, juga turut menyemarakkan bursa pasar kitab kuning, dengan memasarkan terjemahan kitab-kitab itu ke dalam bahasa Indonesia. Di antara kitab kuning yang populer dikaji, dan saya begitu meminati, adalah kitab al-Hikam karya Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah as-Sakandari, atau mudahnya disebut Ibnu ‘Athaillah.
Saya bersyukur tidak pernah mondok di pesantren salaf. Saya menjadi sedemikian bergairah, paling tidak hari-hari ini, untuk memamah matan dan syarah kitab kuning yang telah beralih wahana ke bahasa Indonesia. Terus terang, saya tidak terbiasa, dan memang tidak bisa membaca secara langsung kedalaman isi kitab kuning, tanpa bantuan pengaksaraan dan terjemah bahasa Indonesia. Sehingga kehadiran terjemahan ke bahasa Indonesia ini sungguh teramat sangat membantu. Memudahkan orang-orang di luar pesantren, macam saya yang gagal menjadi santri, untuk mengonsumsi kemuliaan kitab.
Saya bersyukur, bersemangat mengumpulkan terjemahan kitab al-Hikam, di antaranya: Al-Hikam Rampai Hikmah Syekh Ibn ‘Atha’illah, pengulas Syekh Fadhlalla Haeri, penerbit Serambi; Al-Hikam Ibn ‘Athaillah, pengulas Syekh Ahmad Zarruq, penerbit Qalam; Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam, pensyarah Syekh Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, penerbit Mutiara Ilmu; Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, pensyarah Syekh Abdullah asy-Syarqawi, penerbit Turos; Al-Hikam Ibnu ‘Athaillah Jalan Kebahagiaan Abadi, karya Ashim Ibrahim al-Kayyali al-Husaini al-Syadzili, penerbit Qaf; Al-Hikam Al-Athaiyyah, karya Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, penerbit Pustaka IIMaN.
Juga al-Hikam yang disyarahi oleh ulama Indonesia, seperti: Terjemah dan Syarah Al-Hikam oleh Muhammad Farid Wajdi, penerbit Semesta Hikmah; Syarah Al-Hikam oleh KH Sholeh Darat, penerbit Sahifa Publishing; Terjamah Al-Hikam Menuju Faham Dengan Allah oleh Maftuh Bastul Birri, penerbit Ponpes Murottilil Qur’anil Karim Kediri; Menyelami Samudera Hikmah Al-Hikam oleh KH Drs Aliy As’ad, penerbit Menara Kudus; Dan, Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla, penerbit Alif.Id.
Ada satu lagi terjemah Al-Hikam yang kental sastra karya KH Husein Muhammad. Meski hanya matan, tanpa syarah, tapi tetap menarik karena kualitas terjemah sang kiai yang aktif menyuarakan isu-isu hak perempuan ini menyentuhkan dengan ragam sastra.
Memang, belum satu pun yang sukses saya tuntaskan dari sekian kitab tersebut hingga hari ini. Namun, kehadiran mereka telah memelihara perasaan nyaman dalam keseharian saya, di tengah keluarga maupun lingkungan sosial. Berasa terpantau, bahwa hidup ini tidak sendirian, ada Allah, sang Mahaawas, beserta para kekasih-Nya yang benar-benar bak ningrat jiwa.