Juga al-Hikam yang disyarahi oleh ulama Indonesia, seperti: Terjemah dan Syarah Al-Hikam oleh Muhammad Farid Wajdi, penerbit Semesta Hikmah; Syarah Al-Hikam oleh KH Sholeh Darat, penerbit Sahifa Publishing; Terjamah Al-Hikam Menuju Faham Dengan Allah oleh Maftuh Bastul Birri, penerbit Ponpes Murottilil Qur’anil Karim Kediri; Menyelami Samudera Hikmah Al-Hikam oleh KH Drs Aliy As’ad, penerbit Menara Kudus; Dan, Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla, penerbit Alif.Id.
Ada satu lagi terjemah Al-Hikam yang kental sastra karya KH Husein Muhammad. Meski hanya matan, tanpa syarah, tapi tetap menarik karena kualitas terjemah sang kiai yang aktif menyuarakan isu-isu hak perempuan ini menyentuhkan dengan ragam sastra.
Memang, belum satu pun yang sukses saya tuntaskan dari sekian kitab tersebut hingga hari ini. Namun, kehadiran mereka telah memelihara perasaan nyaman dalam keseharian saya, di tengah keluarga maupun lingkungan sosial. Berasa terpantau, bahwa hidup ini tidak sendirian, ada Allah, sang Mahaawas, beserta para kekasih-Nya yang benar-benar bak ningrat jiwa.
Kehadiran kitab-kitab terjemahan itu, sekali lagi sangat membantu posisi saya yang bukan santri, dan tidak familiar dengan tradisi pesantren (salaf), untuk memahami sari kitab pesantren. Tiada lagi kendala baca kitab. Sungguh, rasa kitab kuning tidak lagi horor karena sudah beralihrupa menjadi kitab putih. Dan, lagi-lagi tiada alasan untuk tidak mengaji.
“Lah, bukankah saban Rabu malam kamu sudah ikut Nagji Hikam di kediaman Yai Sholah? Bersama Yai Sholah?” tukas Rahma, istri saya, yang diam-diam ternyata menyimak gumaman ini.
Ungaran, 19/09/2021