Scroll untuk baca artikel
Blog

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Redaksi
×

Kehebohan Setelah Reuni – Cerpen Sapto Wardoyo

Sebarkan artikel ini

SELESAI sudah acara reuni itu. Segala hingar bingar itu sudah mereda. Suara musik juga sudah tak kedengaran lagi, tinggal sisa-sisa percakapan dari beberapa teman yang mungkin masih belum puas dengan pertemuan yang berlangsung kurang lebih selama tiga jam itu. Sebagian  teman bahkan sudah pulang. Dan beberapa pegawai restoran sudah tampak mulai membereskan sisa-sisa acara.

Ya, pada kesempatan kali ini, aku beserta teman-teman alumni SMA mendapat kesempatan untuk mengadakan reuni, setelah puluhan tahun  tak pernah ketemu. Meskipun tak banyak, mungkin sekitar enam puluh orang yang bisa dihubungi dan bisa hadir. Namun acara berlangsung dengan meriah bahkan bisa dibilang hingar-bingar.

Aku sendiri juga tidak tahu siapa yang memprakarsai acara ini. Beberapa minggu yang lalu, tiba-tiba sahabatku semasa SMA, Hanafi, meneleponku. Tentu saja aku kaget dan sekaligus  gembira mendapat telepon dari dia. Akhirnya aku menyempatkan diri untuk sejenak pulang kampung bersama istri dan juga anak-anak dengan mengendarai mobil.

Aku dan Hanafi beserta beberapa teman yang lain masih mengobrol di lobi restoran. Di antaranya adalah Herman, Bagio, Bambang yang bertindak sebagai ketua panitia. Beberapa teman wanita seperti Netty, Henny, Darmi, Weni dan beberapa lagi yang aku tak begitu paham.

Juga ada Edy yang katanya masih menunggu sopirnya yang entah pergi ke mana. Dua orang teman yang sedari tadi mencuri perhatianku. Herman dan Edy. Herman  yang sekarang ini sudah menjadi seorang pengusaha sukses, tampil begitu trendi. Segala yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang bermerek dan berharga mahal. Dan dalam acara ini, menurut Hanafi, dia menjadi donatur terbesar. Hampir seluruh biaya reuni dia yang tanggung.

Juga Edy. Aku cukup kenal dengan temanku ini, karena dulu pernah sekelas selama kelas satu dan dua. Aku masih ingat, bagaimana dulu temanku ini bersikap. Dia adalah seorang yang pemalu, dan bicaranya selalu terkesan pelan.

Apalagi kalau sedang ditanya oleh guru kami, jawabannya selalu pelan, seolah-olah dia tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan. Tapi, setelah puluhan tahun tak pernah ketemu, aku lihat dia menjelma sebagai pribadi yang benar-benar berbeda. Bicaranya seperti seorang motivator. Penuh percaya diri dengan  senyum yang tak pernah berhenti menghias bibirnya. Menurut ceritanya, dia kini tengah menggeluti dunia supranatural.

Dan misinya selalu berhasil. Sudah banyak yang pernah menggunakan jasanya, mulai dari artis, pengusaha kaya bahkan sampai penjabat, baik tingkat daerah ataupun tingkat provinsi. Luar biasa, pikirku. Rupanya dia hampir tak berbeda dengan Herman. Sukses. Apalagi tadi dia mengatakan kalau sedang menunggu sopirnya, wah, berarti dia sudah menjadi seorang bos.

Mobil Edy datang, sebuah Toyota Innova berwarna hitam yang masih baru dan mengkilap. Setelah kembali bersalaman, dia segera membuka pintu tengah dan masuk ke dalamnya. Tak lama kemudian Herman pun pamit, lalu melangkah menuju mobil mewahnya. Sebuah Pajero Sport berwarna putih. Tinggal aku, Hanafi, Bambang dan Bagio.

“Jangan lupa untuk saling memberi kabar ya, saling SMS…” kata Bagio menegaskan. Aku tersenyum.

“SMS? ” gurauku. Bagio tertawa, dan paham kalau aku sedang meledeknya.

“Maklumlah, aku kan bukan pegawai seperti kalian. Setiap hari yang aku bawa ya cangkul, dan kerjaku di sawah, panas dan keringatan. Bukan di kantor yang dingin dan sejuk.” Balasnya. Kami tersenyum. Akhirnya Bagio pun juga pamit menuju motornya. Demikian juga dengan kami, aku dan Hanafi, setelah mengucapkan terima kasih kepada Bambang yang sudah mau ditunjuk sebagai ketua panitia dalam acara reuni ini, kami pun pamit.