Barisan.co – Dalam kajian terbaru Indonesian Corruption Watch (ICW) berjudul “Aktivitas Digital Pemerintah: Berapa Milyar Anggaran Influencer”, peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan lembaganya telah melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE. Total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas yang melibatkan influencer sepanjang tahun 2014 hingga 2020 sebesar Rp90,45 miliar.
Dalam paparannya, Egi menjelaskan temuan lembaganya jika anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas yang melibatkan influencer sebesar itu dibagi berdasarkan instansi. Anggaran terbanyak dipegang oleh Kementerian Pariwisata. Dengan rincian sebagai berikut:
Kementerian Pariwisata: Rp77,66 miliar (22 paket)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Rp1,6 miliar (12 paket)
Kemenkominfo: Rp10,83 miliar (4 paket)
Kementerian Perhubungan: Rp195,8 juta (1 paket)
Kementerian Pemuda dan Olahraga: Rp150 juta (1 paket)
Penggunaan influencer sepertinya bukan hal yang baru bagi pemerintah. Terutama sebelumnya di akhir Februari lalu, pemerintah pernah berencana untuk menggelontorkan dana untuk media juga influencer sebesar Rp72 miliar dalam rangka promosi wisata.
Jumat (21/8), Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menyatakan anggaran senilai Rp90,45 miliar tidak seluruhnya untuk membayar influencer seperti pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW).
“Jadi, Rp90,45 miliar itu kan anggaran kehumasan. Kehumasan itu banyak alokasinya, misalnya untuk iklan layanan masyarakat, untuk memasang iklan di media cetak, audio visual, sosialisasi, bikin buku, atau lainnya jadi tidak semua untuk influencer,” kata Donny.
Pakar kebijakan publik Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah berpendapat bahwa penggunaan influencer untuk sosialisasi program atau kebijakan pemerintah selama ini tidak efisien karena tidak ada tolak ukur efektivitas dengan evaluasi.
Jika memang influencer masuk dalam program kehumasan seperti yang dikatakan oleh pihak istana, maka benar adanya jika perlu adanya evaluasi. Karena dalam tahapan evaluasi program akan diketahui peningkatan pemahaman serta menambah informasi guna menilai efektivitas program tersebut.
Program kehumasan sendiri merupakan proses berkelanjutan dimulai dari menentukan masalah – merencanakan program – pelaksanaan program – evaluasi.
Evaluasi pun belum lengkap bila tanpa adanya penilaian dari masing-masing tingkatan, yaitu: 1) evaluasi tahap persiapan; 2) evaluasi tahap pelaksanaan; dan 3) evaluasi terhadap dampak dari program yang dilaksanakan. Dalam evaluasi tersebut akan juga diketahui pencapaian dari tujuan program yang dibuat serta ketepatan sasaran yang dituju dari program tersebut. Sehingga anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah bisa dipertanggungjawabkan. Karena bagaimanapun juga, sekecil apapun uang yang dikeluarkan merupakan uang dari rakyat Indonesia.
Dalam pada itu, tanggapan masyarakat atas program ini menjadi penting. Lebih-lebih, salah satu teori tentang sumber wewenang ialah teori penerimaan. Yaitu wewenang muncul hanya jika dapat diterima oleh individu maupun kelompok terhadap siapa pun pemegang wewenang tersebut. Pandangan ini juga menyatakan bahwa kunci dasar wewenang oleh yang dipengaruhi bukan yang memengaruhi. Sehingga, wewenang tergantung pada penerima yang kelak akan memutuskan untuk menolak atau menerima.
Penulis: Anatasia Wahyudi
Editor: Ananta Damarjati