Scroll untuk baca artikel
Opini

Amplop Sang Kiai, Masalah?

Redaksi
×

Amplop Sang Kiai, Masalah?

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) KH. Said Aqil Siradj belakangan ini disorot warganet setelah beredarnya video ia diberi sebuah amplop berwarna cokelat oleh seseorang. Belakangan dikonfirmasi bahwa amplop tersebut berisi bantuan untuk pesantrennya.

Pemberian amplop ke orang yang dihormati atau dalam hal ini kiai memang sepertinya sudah menjadi tradisi yang lumrah sebagai ungkapan hormat kepada kiai. Tak hanya dalam bentuk uang, bahkan ada juga dalam bentuk bahan pokok seperti beras hingga kopi.

Tradisi memberikan amplop kepada kiai berawal dari kalangan santri yang ingin memberi penghormatan sekigus penghargaan kepada para kiai di pesantren yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Tujuannya pemberian itu adalah untuk membantu kiai dalam berdakwah, dalam berjuang termasuk mengharapkan keberkahan dari kiai.

Ada cerita menarik soal tradisi amplop ini. Suatu hari saat pulang mengisi acara pengajian umum, pengasuh pesantren Roudlotul Muta’allimin Kudus, KH Ma’ruf Irsyad dikuntit seseorang bersepeda motor yang melaju kencang.

Ketika sampai di gang menuju rumahnya, Kiai Ma’ruf dihentikan orang yang diketahui sebagai salah seorang panitia panitia pengajian.

“Ada apa mas kok tergesa-gesa begitu,” tanya Kiai Ma’ruf.

“Maaf Pak Kiai, kami mau menyampaikan amplop bisyaroh pengajian tadi,” kata panitia.

Kontan saja Kiai Ma’ruf kaget, karena merasa sudah menerima saat berjabat tangan pamit pulang tadi.

”Lho tadi saya sudah diberi amplop kok?” ujar Kiai Ma’ruf.

“Iya Kiai. Maaf, tadi kami salah ambil dari saku baju. Bukannya amplop berisi bisyaroh yang kami sampaikan, tapi tertukar kertas susunan acara pengajian,” jelasnya seraya menyampaikan amplop bisyarohnya.

Mendengan itu, Kiai Ma’ruf pun tersenyum.

Cerita lainnya pernah disampaikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang juga pernah menjabat Ketua Umum PBNU.

Suatu hari, Gus Dur cerita tentang Kiai Somad, (sebut saja begitu). Kiai Somad diundang ceramah ke luar kota. Karena merasa jaraknya jauh, sang kiai pun merasa perlu ditemani sopir.

Seperti biasanya, panitia menyiapkan segala sesuatnya, termasuk “amplop” untuk sang kiai. Karena kedatangannya tidak sendiri, panitia pun merasa perlu juga memberi “salam tempel” kepada sopir yang menemani Kiai Somad.

Setelah seluruh acara beres, panitia pun memberikan amplop, satu untuk kiai, satu untuk sopirnya.

Setibanya di rumah, amplop dibuka. Kiai Somad tersenyum kecut.

“Honor segini, buat naik becak saja masih kurang, padahal ini kan keluar kota,” gerutu Kiai Somad. Apa tidak mungkin ada yang salah, pikirnya. Mau tanya ke panitia kok rasanya nggak enak.

Besoknya, sambil mondar-mandiri di halaman rumah, sang sopir dengan tampang gembira menyapa Kiai Somad, “Pak Kiai, kapan kita ke luar kota lagi?”

“Jelas sudah persoalannya,” pikir Pak Kiai. “Lain kali mustinya panitia lebih hati-hati, harus tepat memberi jatah amplop masing-masing.”

Berangkat dari peristiwa yang dialami Kiai Said, Kiai Ma’ruf hingga apa yang diceritakan Gus Dur, apa mungkin sebaiknya kalangan pesantren menyiapkan QR Code untuk menerima sumbangan? Soalnya, belakangan ini, kalau ngomongin amplop selalu sensitif.


Penulis: Busthomi Rifa’i