Scroll untuk baca artikel
Opini

Menikmati Film Tilik Tanpa Bully, Karena Bu Tejo Adalah Kita

Redaksi
×

Menikmati Film Tilik Tanpa Bully, Karena Bu Tejo Adalah Kita

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Selama beberapa hari, Film Tilik berhasil menduduki tangga trending topic di media sosial Twitter. Film yang diproduksi Ravacana Film di Yogyakarta ini, menceritakan budaya warga setempat yang biasa melakukan tradisi tilik, atau menjenguk tetangga yang sedang sakit secara beramai-ramai.

Mengundang begitu besar perhatian dengan segenap perdebatannya, film ini menjadi unik karena ceritanya menggelitik, dilengkapi satir komedi dengan kebiasaan emak-emak yang bergosip.

Dibintangi pemain seniman lokal dengan kualitas akting bintang lima dan logat bahasa Jawa yang tidak dibuat-buat. Penggunaan dialek khas Jogja, khususnya Bantul, yang ditampilkan membuat penonton lebih nyaman dan menikmati alur cerita.

Tak heran, beragam penghargaan di tingkat nasional hingga internasional diperoleh film ini, seperti pemenang untuk Kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018, hingga Oficial Selection World Cinema Amsterdam 2019.

Namun di balik beragam pujian yang diberikan kepada film Tilik, ada juga beberapa pendapat kontra yang dilayangkan warganet. Bahkan pemeran Bu Tejo dalam film itu, Siti Fauziah sempat dibully warganet. Siti Fauziah mengaku begitu terpengaruh dengan perkataan-perkataan yang disampaikan netizen kepada dirinya.

“Ya, kepengaruh. Kan, aku juga orang biasa sama kayak kalian. Bedanya, sekarang banyak kerjaan aja,” ucap Siti Fauziah dikutip dari Kumparan, Selasa (25/8/2020).

Selain itu, Siti Fauziah, juga merasa sakit hati ketika film yang ia bintangi mendapat komentar negatif. Misalnya saja, ada orang yang menyebut bahwa film Tilik tidak mendidik.

“Katanya film kita enggak worth it buat ditonton. Terus, film kita enggak mendidik. Terus, film kita stereotip perempuan yang suka nyinyir. Tapi, ya udah, enggak apa-apa,” terang Siti Fauziah.

Memang jika mencari pesan moral dalam film ini agaknya terlalu berlebihan, apalagi sebagaimana yang diharapkan oleh sutradaranya, Wahyu Agung Prasetyo, yang mengatakan benang merahnya bagaimana mensaring informasi agar terhindar dari Hoaks.

Sekalipun ada kritik perihal isu literasi digital, itu tentang bagaimana pemanfaatan media sosial sebagai rujukan fakta dan informasi. Meskipun kebenaran dari media sosial belum tervalidasi, tapi informasi itu seakan halal sebagai landasan bergibah. Sedangkan dalam hal niatan baik seperti tilik’an, kabar yang belum pasti nggak boleh jadi landasan kegiatan.

Maka yang terjadi adalah akan spaneng kalau film ini dianggap serius sebagai upaya pelurusan stigma negatif terhadap perempuan lajang, ketimpangan literasi digital, atau hal-hal serius lainnya.

Tapi jika menganggap film ini sebagai media ekspresi, hiburan, dan representasi sosial justru malah kita akan menemukan banyak hal, selain keindahan alam di Bantul tentunya.

Soalnya, tanpa disadari, film ini membahas tentang kita. Bagaimana selama ini kita suka mencampuri urusan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, hanya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita baik-baik saja. Membicarakan ‘keburukan’ orang lain, seolah-olah kita auto lebih baik.

Film Tilik berusaha mengingatkan kita atau bahkan menegur bahwa kita adalah Bu Tejo dalam berbagai momen. Setidaknya dalam hati kita pasti pernah menyacati atau mencela orang lain yang bahkan kita tidak kenal secara pribadi.

Penulis: Busthomi Rifa’i