Yusnaeni
Redaktur Barisan.co
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendadak jadi buah bibir, setelah seorang pegawainya membuat laporan tertulis tentang kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
Saksi korban berinisial MS tersebut mengunggah rilis pers di Twitter pada Rabu (1/9/2021). Ia terpaksa melakukannya lantaran aparat penegak hukum tak menggubris laporannya. MS juga pernah melaporkan kejadian yang menimpanya itu pada atasannya, namun pelaku tak juga ditindak.
Dalam rilis pers tersebut MS menceritakan telah dilecehkan dan dirisak sejak pertama kali ia bekerja pada 2011. Para pelaku mengintimidasi, merendahkan dan menindasnya layaknya seorang budak. Sepanjang 2012-2014, MS dipaksa membelikan makanan untuk rekan kerja senior.
“Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki dan merundung tanpa bisa saya lawan,” ungkapnya.
Penindasan semakin menjadi pada 2015, para pelaku memegangi tangan dan kaki kirinya, lalu bersama-sama menelanjanginya di kantor KPI Pusat. Mereka memukul kepala, memiting dan mencoret-coret buah zakarnya dengan spidol, serta mendokumentasikannya. Tak sampai di situ, para pelaku juga mengumpatnya dengan perkataan kotor di grup WhatsApp.
Salah satu pelaku, RM, pernah menendang bangkunya saat istirahat. RM juga pernah menceburkan MS ke kolam renang pada acara kantor, di Resort Prima Cipayung, Bogor pada 2017. Kejadian itu membuat MS merasa terintimidasi dan ketakutan.
“Saya tidak tahu apakah para pria peleceh itu mendapat kepuasan seksual saat beramai-ramai menelanjangi dan memegangi kemaluan saya, yang jelas saya kalah dan tak bisa melawan,” lanjutnya.
Meski telah ditindas, ia tak kunjung berhenti bekerja dari KPI. Demi menafkahi keluarganya, ia bertahan bertahun-tahun. Namun, perbuatan para pelaku telah membuat psikologinya terganggu. Setiap kali teringat dengen pelecehan tersebut, Kadang MS berteriak sendiri seperti orang gila dan menggebrak meja tanpa alasan. MS merasa hina dan tidak ada harganya lagi sebagai manusia.
Stres dan trauma yang berlarut-larut itu lambat laun membuat kesehatannya menurun. Perutnya sering terasa sakit. Dokter mendiagnosanya terkena hipersekresi cairan lambung.
Karena sudah tidak tahan lagi, MS mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui surat email. Pada 19 September 2017, email tersebut direspon. Komnas HAM mengatakan jika apa yang menimpanya adalah kejahatan atau tindak pidana. Komnas HAM menyarankan MS untuk melaporkannya ke pihak kepolisian.
Ia pun menuruti saran tersebut. Pada 2019, MS pergi ke Polsek Gambir. Tapi petugas malah bilang, “Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan.”
MS sangat merasa kecewa. Ia bertanya-tanya, “Bukankah korban tindak pidana berhak lapor dan kepolisian wajib memprosesnya?”
Kemudian, Ia mengadukan para pelaku ke atasan. Bukannya memberi sanksi kepada pelaku, KPI hanya memindahkan korban ke ruangan yang diisi oleh orang-orang yang dianggap lembut dan tak kasar. Karena pengaduan tersebut, para pelaku meradang dan makin merundung MS. Dari mengata-ngatainya dengan kata kotor, melempar tasnya keluar ruangan hingga kursi yang ia duduki dikeluarkan dan ditulisi dengan “Bangku ini tidak ada orangnya.”
Melalui siaran pers tersebut MS meminta bantuan kepada sejumlah tokoh seperti Presiden Jokowi, Anies Baswedan dan Kapolri. Tak tanggung-tanggung, MS juga menyebutkan nama-nama pelaku secara lengkap.
Curhatan MS ini mendapat respon yang baik dari warganet. Sampai saat ini. Postingannya itu telah mendapat like 77 ribu dan 51 ribu retweet. Banyak pihak yang menyoroti kasus ini dan mengecam keras tindakan pelaku. KPI pun langsung bertindak. Para pelaku dibebas tugaskan sementara dan terancam dinonaktifkan permanen.