Scroll untuk baca artikel
Blog

Kekerasan Seksual Pegawai KPI Bukti Nyata Pentingnya RUU PKS

Redaksi
×

Kekerasan Seksual Pegawai KPI Bukti Nyata Pentingnya RUU PKS

Sebarkan artikel ini

Tak hanya itu, jika pelaku terbukti bersalah maka pelaku terancam pasal berlapis. Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo mengatakan pelaku dapat dijerat Pasal 289, 281 KUHP jo 335 yaitu perbuatan cabul dan kejahatan terhadap kesopanan disertai ancaman ke yang bersangkutan.

Pelecehan Seksual Bisa Terjadi Pada Siapa Saja

Komisioner Komnas Perempuan 2006 -2014 dan 2010 – 2014, Ninik Rahayu mengatakan pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak-anak saja. Pelecehan seksual juga bisa terjadi laki-laki. Ia menyebut kasus ini sebagai akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban.

Pelecehan seksual termasuk dari bentuk-bentuk kekerasan seksual. Menurut Ninik, kekerasan seksual dapat berawal dari berbagai bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Pelaku selalu memosisikan dan mengondisikan korban lebih rendah dan tak berdaya.

Maka sudah dapat dipastikan salah satu implikasinya adalah kekerasan. “Kekerasan termasuk kekerasan seksual adalah salah satu ekspresi yang ditampilkan oleh orang – orang yang menganggap dirinya lebih berkuasa daripada kekuasaan yang dimiliki korban,” ujar Anggota Ombudsman RI periode 2016 – 2021 ini kepada Barisan.co, Jum’at (3/9/2021).

Ninik melanjutkan, tubuh korban dijadikan objek seksual oleh para pelaku. Pada kasus yang dialami saksi korban, juga berawal dari posisi korban yang terdiskriminasi dalam pergaulan sesama staf di kantor dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Sehingga dari kasus KPI ini menunjukkan penyebab terjadinya kekerasan seksual bukanlah karena pakaian korban melainkan relasi kuasa. Selama ini, banyak orang yang menganggap kekerasan seksual disebabkan pakaian korban yang terbuka/seksi. Nyatanya pada survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan 17 persen korban kekerasan seksual berpakaian tertutup.

Jika karena pakaian, bagaimana dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak di bawah umur dan laki-laki seperti pada kasus KPI?

“Jika ada yang beranggapan bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah cara berpakaian korban itu salah besar,” tegas Ninik.

Ninik juga mengomentari sulitnya korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan. Padahal pengaduan adalah pemulihan awal bagi korban. Pada kasus kekerasan seksual  di KPI, korban telah melapor ke Institusi Komnas HAM dan Kepolisian. Namun, laporannya itu tidak diproses. Korban kemudian melapor ke atasannya, tapi tidak ada tindakan.

“Fakta ini juga semakin menguatkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual sulit terungkap dan korban sulit mengakses keadilan, salah satunya karena sistem pengaduan yang memudahkan korban melapor selalu tidak tersedia dengan aman dan nyaman,” papar penulis buku “Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia” ini.

Ninik menyebut KPI sebagai lembaga negara sudah kecolongan dalam menyiapkan sistem aduan dan pengawasan internal, serta tidak sigap dalam merespon aduan saksi korban. Yang terjadi di KPI menunjukkan belum terbangunnya early morning system jika ada potensi dan indikasi kekerasan seksual di ruang publik serta lembaga-lembaga negara, pemerintahan ataupun pendidikan dan lainnya.

Ninik menilai laporan KPI untuk membantu korban sudah terlambat. Ia menyarankan KPI untuk berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki sumber daya yang mumpuni untuk melakukan pemulihan korban.

Selain itu, Ninik berharap penegak hukum tidak hanya menghukum pelaku tapi juga merehabilitasi pelaku agar memahami cara menghormati harkat dan martabat manusia. “Tidak memandang rendah dan tidak melakukan kekerasan seksual pada yang lemah,” tutup Tenaga Profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini.