Scroll untuk baca artikel
Blog

Kekerasan Seksual Pegawai KPI Bukti Nyata Pentingnya RUU PKS

Redaksi
×

Kekerasan Seksual Pegawai KPI Bukti Nyata Pentingnya RUU PKS

Sebarkan artikel ini
Urgensi Disahkannya RUU PKS

Banyaknya kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini, sudah sepatutnya membuat pemerintah dapat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang  Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Jika selama ini RUU PKS dituding dapat melegalkan zina dan praktik LGBT adalah salah besar. Sebab undang-undang ini bertujuan untuk melindungi para korban pelecehan seksual baik  perempuan, laki-laki maupun anak-anak.

Dalam buku “Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia” yang ditulis Ninik Rahayu disebutkan kekerasan seksual sangat memengaruhi kesehatan fisik dan emosional para korban. Kekerasan seksual juga berdampak pada harga diri korban, hubungan mereka dengan keluarga, teman dan seluruh dunia. Bahkan memengaruhi kemampuan para korban dalam bekerja dan melakukan aktivitas normal dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih ekstrem lagi adalah dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.

Dalam kasus kekerasan seksual di KPI, korban mengalami tekanan yang luar biasa dan menderita sakit fisik terus menerus. Bisa jadi, jika korban tidak mendapat keadilan akan berdampak lebih dari itu dan melakukan hal – hal yang tak diinginkan seperti membunuh pelaku atau bunuh diri.

Tindakan nekat korban kekerasan seksual seringkali digambarkan pada karya sinematik. Misalnya kisah Audrie Pott dan Daisy Coleman pada film Audrie dan Daisy. Kedua pelajar SMA tersebut menjadi korban pelecehan seksual dan target cyberbullying karena foto-fotonya tersebar di media sosial. Audrie yang tak tahan memutuskan untuk bunuh diri. Atau kisah Elsa pada sinetron Ikatan Cinta, ia terpaksa membunuh orang yang sudah melecehkannya. “Hukuman apa yang lebih pantas kepada seorang laki-laki yang sudah menghamili perempuan?” ujar Elsa pada polisi.

Meski kisah kekerasan seksual yang digambarkan dalam film-film, kebanyakan terjadi pada perempuan, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan terjadi pada korban laki-laki. Seperti yang ditulis Ninik, “Bentuk-bentuk tersebut (dampak kekerasan seksual) menyebabkan terjadinya distorsi keadilan, utamanya bagi korban kekerasan seksual dan menimbulkan perbuatan “main hakim sendiri” (eigenrichting) terhadap pelaku atau keluarga pelaku. Dalam dimensi politik hukum, dampak yang dialami oleh korban dan keluarga seharusnya dipulihkan, dan bagaimana pelaku melalui proses penghukuman dipulihkan kesadarannya sebagai manusia.”

Guna mencegah aksi tersebut, diperlukan suatu kebijakan yang memihak korban seperti RUU PKS yang mencakup aaturan pidana, aspek pemulihan dan upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual. RUU PKS juga tidak hanya memulihkan korban saja tapi memberikan edukasi dan rehabilitasi bagi pelaku untuk lebih menghargai manusia. [ysn]