“Mungkin tidak mudah untuk mengubah kenyataan, tapi setidaknya saya bisa mengomunikasikan suara mereka kepada dunia,” ungkap Shireen.
Meski, tahu pekerjaannya amat berisiko. Shireen menjalankannya dengan berani. Itu tugas jurnalis sebenarnya. Akan tetapi, wajah jurnalis hari ini tampak samar.
Bahkan, mereka ada yang hanya bertugas membuat berita bagus. Padahal, prinsipnya, “Bad News is Good News“. Artinya, kabar buruk adalah berita baik sedangkan kabar baik bukan berita, dan tidak ada berita artinya itu buruk.
Itu mengindikasikan, jurnalis perlu memberitakan kabar buruk dari berbagai instansi agar pimpinanannya mengambil tindakan dan segera mengatasi masalah tersebut. Itu seharusnya cara membuat berita yang bagus. Namun, apa yang terjadi. Segelintir jurnalis justru lebih sering menuliskan hal-hal yang baik setelah menerima beberapa lembar uang di dalam amplop.
Prinsip itu perlahan hilang. Saya sendiri enggan menjadi jurnalis karena menyadari betapa berbahayanya profesi itu. Bahkan, saat masih kuliah, saya menanamkan dalam kepala, “Saya masih muda, tak ingin mati muda”. Itulah, alasan di balik keengganan saya mengambil konsentrasi jurnalistik pada saat itu.
Dengan melihat beberapa orang bergeliat mencari amplop kesana-kemari. Saya semakin ragu, “Apakah ini wajah jurnalis sebenarnya?”
Sialnya, banyak orang mengira, jurnalis sama, ya sama-sama buruk maksudnya. Mereka ditafsirkan tidak lagi beretika, berprinsip, dan bermoral.
Padahal, banyak Shireen lain yang berjibaku menjalankan tugas di tengah perang. Termasuk jurnalis investigasi tentang kasus korupsi dan Papua yang mereka tahu, hidupnya amat terancam.
Akhirnya, ini menjadi keruwetan antar jurnalis. Benang merah pun tidak dapat ditarik. Sebab, segelintir orang bisa membuat rusak seluruh institusi. [rif]