Scroll untuk baca artikel
Blog

Kembali Ke Memorandum Dewan Kesenian

Redaksi
×

Kembali Ke Memorandum Dewan Kesenian

Sebarkan artikel ini

Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Kesenian Semarang, mengapa memorandum perlu sebagai pegangan Dewan Kesenian. Sebab dari kecenderungan gelombang bentuk seni baru, mesti merujuk pada UU..


BARISAN.CO – SABTU 29 Januari 2022, Dewan Kesenian Semarang (Dekase) mau menggelar Musda. Rembug itu akan memilih Ketua baru, setelah periode Handry TM. Dipastikan tiga calon dan 150-an pelaku seni akan duduk satu ruang. Adin Salahadin, anak muda yang mandegani komunitas seni budaya Hysteria di Semarang mberung di FB, kelompoknya tidak diundang.

“Kalau saya pribadi tidak diundang nggak pateken, tapi Hysteria sudah berkiprah delapan belas tahun, mengapa tidak mendapat undangan. Bagaimana kriteria diundang dan tidak diundang? Sungguh ora cetho!”

Kita mulai dari pertanyaan, apa itu Dewan Kesenian (DK). DK adalah lembaga kesenian bentukan dan kepanjangan tangan pemerintah dalam pengelolaan kesenian. Bersamaan kemenangan orde baru, dunia kesenian (modern) mengalami satu gelombang kreativitas tak terbendung.

Satu gelombang seni modern mendunia, yang tidak bisa diantisipasi melalui lembaga pemerintah yang ada, Debdikbud atau Pariwisata. Maka perlu dibentuk satu lembaga khusus, semi pemerintah, yang bisa nataki gelombang kesenian baru itu.

Maka untuk yang pertama dibentuklah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang sekaligus sebagai pengelola Taman Ismail Marzuki (TIM), dengan ketua pertama Umar Kayam. Setelah itu bermunculan DK-DK di kota-kota Indonesia. Mengantisipasi hal itu maka pemerintah mengadakan Kongres DK se Indonesia I di Ujung Pandang. Dari kongres itu dihasilkanlah Memorandum DK, sebagai kitab panduan DK-DK se-Indonesia.

Mengapa memorandum perlu sebagai pegangan DK. Sebab dari kecenderungan gelombang bentuk seni baru, mesti merujuk pada UU, untuk tidak meninggalkan bentuk-bentuk seni asli (kesenian rakyat atau tradisional). Dan atau pengembangan seni asli itu, sebagai dasar kreativitas yang mungkin.

Bahwa, menjaga bentuk asli berbeda dengan usaha pelestarian. Yang dimaksud pelestarian adalah menumbuh kembangkan, atau atas makna lestari itu. Dari itu muncullah kreativitas sebagaimana Bengkel Teater Rendra yang menggali ketoprak untuk pementasan “Perampok” atau “Panembahan Reso”, Teater Kecil Arifin C Noer dengan gaya tengul atau lenong, atau Teater Mandiri Putu Wijaya dengan roh drama gong Bali atau rangda.

Kreativitas dalam bidang kesenian lain, tak terkira pula. Misalnya pertunjukan musik Swara Mahardika Guruh Soekarno Poetra, Depot Musik Bandung Harry Roesli, hingga Kiai Kanjeng Emha Ainun Nadjib. Pun dalam seni rupa, dari Nasirun hingga Heri Dono. Tentu lebih tereksplor adalah jagat seni tari, dari Huriah Adam hingga Sardono W Kusumo.

Ada silang sengkarut langkah Dewan Kesenian, manakala mereka tidak merujuk pada memorandum. Itu sebabnya, antaralain, banyak DK yang mengalami pasang surut dalam langkahnya. Antara lain karena, dalam aktivitasnya mereka tak ubahnya Event Organizer (EO) yang asal menyelenggarakan even dari karya pengurus sendiri. Tidak bagaimana mengantisipasi kreativitas yang termaktub dalam memorandum.

Pasang surut juga terjadi karena perbedaan dana yang diterima setiap DK berbeda. Itu mengingat dana DK memang dari APBD. Contoh misal dana 2021 untuk DK Tegal mencapai 400 juta. Tapi untuk Pekalongan dan atau Jepara, kurang dari 50 atau 100 juta. Silang sengkarut nilai dan teknis ini yang kiranya perlu diteguhkan dalam kongres mendatang.

Tak lain untuk menjawab persoalan itu, hingga pertanyaan-pertanyaan yang — misalnya — membuat DK Solo pernah vakum karena membubarkan diri. Termasuk pertanyaan Adin Hysteria di awal tulisan ini bisa terjawab, sehingga tidak muncul dugaan yang menjadi pokok atau dasar referendum: jangan sampai DK dipolitisir atau dipolitikisasi. Atawa dengan bahasa romantis: supaya tidak ada dusta di antara seniman. [Luk]