Scroll untuk baca artikel
Blog

Kembali Ke Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)

Redaksi
×

Kembali Ke Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)

Sebarkan artikel ini

Arah pembangunan nasional semesta berencana yang telah ditetapkan MPRS ini sebagai pencanangan pembangunan di masa peralihan yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila atau masyarakat sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi amanat penderitaan rakyat.

Rumusan GBHN terakhir pada masa orde lama ditetapkan melalui MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Berisikan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961 berjudul Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional (Resopim) dan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1962 berjudul Tahun Kemenangan (Takem). Dijadikan sebagai pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia. Sedangkan “Deklarasi Ekonomi” sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan pembangunan di bidang ekonomi.

Pada masa orde baru, rumusan GBHN dihasilkan dari sidang MPR lima tahunan sekali. Dalam kurun waktu 29 tahun dari 1 April 1969 sampai 21 Mei 1998 ada enam Tap MPR yang menetapkan GBHN, yaitu: Tap MPR No.IV/MPR/1973, Tap MPR No.II/MPR/1978, Tap MPR No.IV/MPR/1983, Tap MPR No. II/MPR/1988, Tap MPR No.II/MPR/1993, Tap MPR No. II/MPR/1998.

GBHN ini kemudian dijabarkan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menghasilkan Repelita I hingga Repelita VI.
Repelita yang disusun orde baru sebagai bagian usaha untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dalam perjalanannya, Repelita yang disusun secara sistematis dan strategis itu tidak sesuai dengan pelaksanaannya.

Pembangunan yang dikerjakan malah menimbulkan disparitas yang tajam antara si kaya dengan si miskin, pembangunan yang timpang antara di Jawa dan luar Jawa, dan diperparah adanya sistem birokrasi yang tidak sehat, seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada akhirnya menimbulkan krisis politik yang membuat Suharto harus jatuh dari tampuk kekuasaannya setelah terjadinya pendudukan gedung DPR/MPR oleh pejuang-pejuang reformasi yang memintanya mundur dari kursi kepresidenan

Setelah Suharto jatuh dan lengser ke prabon, Indonesia memasuki masa transisi, dibawah kemudi Presiden BJ Habibie. Pada masa transisi ini Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN kemudian dicabut dan diganti dengan Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Pelaksanaan dari Pokok-pokok reformasi pembangunan ini berlangsung dalam jangka pendek, yaitu sampai terselenggaranya Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999. Ini berbeda dengan GBHN umumnya yang biasa ditetapkan MPR dilaksanakan dalam jangka waktu panjang.

Pemerintahan Presiden BJ Habibie berlangsung singkat. Banyak hal yang sudah dia kerjakan untuk mengangkat ekonomi Indonesia keluar dari krisis. Seperti kebijakan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar. Saat terjadi krisis keuangan tahun 1998, Indonesia mengalami kejatuhan rupiah hingga Rp. 17.000 per dolar AS, namun, dengan langkah-langkah yang tepat dan terukur dari BJ Habibie, rupiah bisa merangkak naik hingga Rp. 6.500 per dolar AS.

Kebijakan BJ Habibie yang lain, yaitu, mengeluarkan paket restrukturasi perbankan untuk membangun kembali perbankan yang sehat, melakukan pemisahan Bank Indonesia (BI) dari pemerintah sehingga BI menjadi lembaga independen dan mendapatkan kepercayaan lagi, pertumbuhan ekonomi membaik menjadi 0,79 persen pada 1999 naik dibandingkan 1998 yang sempat mencapai -13,13 persen, tingkat kemiskinan juga menurun 23,4 persen pada 1999 dibandingkan 1998 yang mencapai 24,2 persen, ketimpangan atau gini rasio pada 1998-1999 sebesar 0,3(Kompas, 11/02/19). Namun, pemerintahannya berakhir tragis karena laporan pertanggungjawaban presiden di tolak dalam sidang umum MPR RI tahun 1999.