Scroll untuk baca artikel
Opini

Kembali Ke Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)

Redaksi
×

Kembali Ke Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)

Sebarkan artikel ini

Oleh: M. Ridwan

Bergulirnya isu Amandemen UUD 1945 yang kelima akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan dan perdebatan publik baik dari kalangan politisi, akademisi, aktifis, dan masyarakat umum. Isu yang hangat diperbincangkan mulai dari soal dikembalikannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam pasal UUD 1945 hingga sampai masalah jabatan presiden tiga periode.

Di kamar MPR sendiri sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan melaksanakan amandemen, sudah mengkonfirmasi bahwa tidak ada rekomendasi amandemen terkait jabatan presiden tiga periode yang ada hanya rekomendasi amandemen terbatas terkait Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) istilah lain dari GBHN sebagai tindaklanjut dari rekomendasi Pimpinan MPR periode sebelumnya (2014-2019).

Upaya pematangan pembahasan terus dilakukan, mulai dari berbagai kajian dan serap aspirasi publik, mendengarkan pandangan akademisi dari beragam kampus di Indonesia, ormas-ormas keagamaan yang mewakili umat terbesar di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, dan agama-agama lain.

Sejak GBHN dihapuskan dalam amandemen UUD 1945, negara tidak punya haluan lagi dalam menjalankan pembangunan nasional. Pemerintah hanya hanya mengacu kepada UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.

Sedangkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya berdasarkan visi dan misi presiden terpilih. Sehingga tidak ada jaminan jika program pembangunan yang sudah dikerjakan pemerintah sebelumnya akan dilanjutkan pemerintahan berikutnya.

Ketiadaan haluan negara rentan menimbulkan ketidakselarasan antara pembangunan nasional dengan daerah karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang disusun tidak terikat mengacu kepada RPJMN. Tidak heran jika visi dan misi kepala daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden terpilih. Demikian juga visi dan misi kepala daerah satu dengan kepala daerah lain juga akan berbeda.

Dengan melihat rapuhnya arah dan strategi pembangunan baik di pusat dan daerah dibutuhkan Pokok-Pokok Haluan Negara yang mampu memandu arah pembangunan nasional dalam rentang waktu panjang sehingga ada target-target jelas yang dicapai baik jangka pendek, menengah, dan panjang. Dan juga ada sinkronisasi pembangunan antara yang diinginkan pusat dengan yang dibutuhkan di daerah

Potret GBHN dari Masa ke Masa

Dalam perjalanannya, GBHN pernah menjadi dokumen hukum yang memandu arah dan strategi pembangunan nasional dari zaman orde lama, orde baru, masa transisi, hingga masa awal reformasi.

Pada masa orde lama, rumusan GBHN merupakan buah dari pikiran-pikiran Sukarno. Pertamakali ditetapkan melalui Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 yang memuat rumusan Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959. Manifesto ini pernah disampaikan dalam pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang menjelaskan persoalan-persoalan beserta usaha-usaha pokok daripada revolusi kita yang menyeluruh.

Penetapan GBHN oleh Presiden pada waktu itu untuk mengisi kekosongan hukum (recthsvacuum), karena MPR yang diberikan kewenangan menetapkan sesuai pasal 3 UUD 1945 belum terbentuk.

Sehingga sesuai dengan aturan peralihan Pasal IV UUD 1945 “sebelum MPR, dan DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.

GBHN yang berisikan manifesto politik kemudian dijabarkan Dewan Perancang Nasional (Depernas) lewat rumusan Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun 1961-1969. Kemudian pada tanggal 3 Desember 1960 rancangan ini ditetapkan oleh MPRS melalui Tap MPRS No.II/MPRS/1960 sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.