Kita juga punya biasa dalam menilai dan mendambakan hal-hal yang terlalu jauh dari jangkauan. Ketidakpuasan merupakan mesin pendorong untuk mengumpulkan lebih banyak sumber daya. Alhasil, kita melihat rumput tetangga lebih hijau.
Hanya karena kita memiliki bias untuk percaya bahwa rumput tetangga lebih hijau tidak selalu berarti tidak demikian. Beberapa tahun lalu, aku ingat betul, seorang kawan berkata, “Enak ya hidup jadi Nia Ramadhani? Apa-apa bisa kebeli.” Ya, ini dikarenakan bias kita. Padahal, orang kaya sekali pun memiliki masalah yang tidak terhindari. Begitu juga dengan perempuan yang cantik. Dengan media sosial, kita merasa rendah diri karena tak seputih dan secantik perempuan lain. Memang apa masalahnya?
Membandingkan diri kita dengan orang lain adalah racun karena banyak alasan, tetapi salah satu yang paling merusak adalah bersinggungan dengan harga diri kita. Kita merasa “kurang dari” ketika kita membandingkan, kita merasa kita tidak cukup baik, dan entah bagaimana kita perlu melakukan yang lebih baik. Ini adalah tempat yang mengerikan. Tempat yang mengarah pada depresi dan kecemasan.
Membandingkan diri kita sendiri berarti kita sedang menghakimi. Kita menilai orang yang kita lihat dan kita menilai diri kita sendiri. Penghakiman bukanlah kerangka berpikir yang sehat. Kita benar-benar tidak tahu apa yang sedang dialami orang lain atau apa yang terjadi di dunia mereka.
Ingatlah pesan Tony Gaskins, “Menjadi puas bukan berarti kamu tidak menginginkan lebih, itu berarti kamu bersyukur atas apa yang kamu miliki dan bersabar untuk apa yang akan datang”.