MANUSIA itu homo faber, makhluk pekerja, kata Marx. Sama-sama bekerja, yang membedakan manusia dan binatang adalah manusia bekerja dengan konsepsi sedangkan binatang hanya insting alam.
Bekerja itu harus ‘menghasilkan’ sesuatu, sehingga manusia merasakan makna dalam bekerja dan hasil kerjanya. Semakin menghasilkan, semakin bermakna kehidupan manusia. Makna dalam kerja itulah yang membuat manusia merasakan eksis dalam kehidupannya.
Pada praktiknya, tak selalu bekerja itu memberi makna lantaran berbagai hal. Ada sebagian manusia yang bekerja karena sekadar mencukupi kebutuhan. Ada yang bekerja karena tak ada pilihan. Ada sebagian lain lagi yang bekerja tercukupi kebutuhannya tapi tidak merasakan makna kecuali sekadar rutinitas.
Kerja tanpa makna, apalagi berlangsung lama, kata Marx akan mengikabatkan manusia alami alienasi, semacam keterasingan pada dirinya sendiri. Manusia turun derajat menjadi semacam robot yang bergerak gerak rutin tanpa hati dan rasa.
Manusia macam itu alami dehumanisasi atau manusia kehilangan hakekat kemanusiaannya. Secara fisik dan penampilan boleh saja manusia tampak sehat dan baik baik saja, tapi batinnya terasa hampa.
Begitulah potret umum manusia modern yang mengejar kehidupan tapi kehilangan makna-makna dalam hidupnya. Mereka telah bekerja keras dengan peras keringat banting tulang dan mungkin juga mendapatkan limpahan materi, namun upaya itu tidak seiring dengan kepuasan hati.
Rasa kehilangan makna itu tak jarang ditutupi dengan pelarian diri dengan meraih makna-makna palsu seperti penggunaan narkoba atau minuman alkohol, atau bentuk bentuk lain yang sifatnya pelarian diri. Ada krisis yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia ketika kerja tak memberi arti.
Berbeda dengan Marx yang berpandangan manusia banyak ditentukan oleh kondisi lingkungannya, menurut Frankl, salah seorang psikolog humanistik dan pendiri aliran Logo Therapy, manusia punya otoritas dalam memberi makna dalam kehidupannya.
Manusia mesti merebut makna untuk kembali menjadi manusia seutuhnya. Kerja harus diberi makna atau manusia harus segera membuat makna dalam lingkungan kerjanya. Batin manusia harus mendapatkan ruang ekspresi sepenuh-penuhnya, karena dengan cara itu aktivitas kerja dan dinamika kehidupannya menjadi bermakna.
Ketika kerja dan lingkungan kerja bermakna, maka insentif manusia tak lagi sekadar upah. Seluruh kegiatan manusia menjadi insentif lantaran seluruh ruang geraknya memberikan rasa kepuasan batin.
Kerja menjadi tak semata mengeluarkan tenaga tapi juga sekaligus menyerap energi kebahagiaan. Pada posisi ini kerja tak lagi beban yang mendera, melainkan kebutuhan untuk menjadi diri yang tumbuh dan mekar secara utuh. Kerja menjadi sesuatu yang menggairahkan.
Seorang Messi mendapatkan gaji besar menjadi pemain bola. Tapi bagi Messi bukan semata soal gaji besar, tapi bermain bola di lapangan itu adalah aktivitas yang menyenangkan hati. Bermain bola lebih dari sekadar bekerja tetapi ekspresi aktualisasi diri yang penuh kepuasan hati. Pada Messi, antara bekerja, bermain, dan berekspresi diri menyatu dalam bola.
Messi hanya satu contoh saja di mana kerja mendapatkan sentuhan makna sehingga insentif tak semata upah materi tapi juga kepuasan dan kebagiaan dalam bekerja itu sendiri.
Contoh lain bisa dibuat daftar panjang semisal Ebiet dengan musikalisasi puisinya, atau Habibie dengan riset dirgantara, Pram dengan karya-karya novelnya, Rendra dengan karya-karya puisinya, dan lain-lain.
Pada intinya, kerja harus harus dirasakan penuh makna dan memberi insentif kebahagiaan batin, lebih dari sekadar upah yang sifatnya material. Pada kondisi ini manusia berada dalam posisi ‘menjadi’ kata Erich Fromm, atau ‘aktualisasi diri’ kata Maslow, atau eksis menurut Marx. [dmr]