Utang Kirgistan melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) telah menimbulkan kekhawatiran besar. Negara itu kemungkinan harus menyerahkan asetnya jika gagal bayar utang ke Cina.
BARISAN.CO – Utang Kirgistan kepada Cina telah menimbulkan kekhawatiran besar. Negara itu kemungkinan harus menyerahkan asetnya jika gagal bayar utang ke Cina.
Menurut Kementerian Luar Negeri Kirgistan, pada akhir Februari 2022, utang luar negeri Kirgistan sebanyak US$4,3 miliar. Sebanyak US$1,8 miliarnya merupakan utang kepada Bank Ekspor-Impor Cina untuk serangkaian proyek infrastruktur di bawah Belt and Road Initiative (BRI).
Laporan Center for Global Development 2018 telah meramalkan, Kirgistan menjadi salah satu negara yang berisiko tinggi mengalami kesulitan utang akibat pinjaman BRI. Di akhir tahun 2016, 40 persen utang luar negeri Kirgistan berasal dari kreditur tunggal, Bank Exim Cina.
Saat itu, Kirgistan berada di risiko moderat dari tekanan utang dan rentan terhadap guncangan akibat depresiasi nilai tukar yang cukup besar.
Pada akhir Maret lalu, Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar menawarkan bantuan kepada Sri Lanka yang sedang berjuang terlepas dari jeratan Cina. Krisis ekonomi Sri Lanka terjadi setelah dua dekade invetasi besar Cina yang disebut pkar geopolitik sebagai strategic trap diplomacy.
Pemerintah Cina meluncurkan program BRI sejak tahun 2013 untuk membangun pelabuhan, jalan raya, rel kereta api, jaringan pipa, dan infrastruktur lainnya. Sri Lanka turut menarik miliaran investasi dari program tersebut.
Sebuah kota pelabuhan luas dibangun untuk menjadi pusat keuangan serta bersaing dengan Dubai. Di atas lahan 296 hektar tersebut, Cina mendanai proyek infrastruktur besar itu yang mencakup pelabuhan dan bandara di Hambantota, Sri Lanka.
Mengutip VoA, analis dari Center for Policy Alernatives di Kolombo, Bhavani Fonseka mengatakan, pelabuhan itu justru tidak menguntungkan.
“Jadi, ada banyak pertanyaan apakah proyek semacam ini juga berkontribusi bagi meningkatnya utang Sri Lanka,” kata Bhavani.
Tahun 2017 silam, pemerintah Sri Lanka menyerangkan pelabuhan Hambantota kepada sebuah perusahaan Cina dengan sewa 99 tahun setelah tidak dapat melunasi utang US$1,4 miliar.
Bhavani menyebut, pemerintah Sri Lanka condong berpihak ke arah Cina.
“Tetapi, saya pikir sekarang akan ada kebijakan luar negeri yang lebih seimbang dan upaya mendapatkan bantuan dari aktor yang lebih berbeda dan beragam,” ujarnya.
Guardian melaporkan, proyek BRI telah membuat 165 negara secara kolektif berutang US$385 miliar ke Cina. Namun, Cina tidak melaporkan statistik tersebut kepada badan internasional etrmasuk Bank Dunia.
Kantor Informasi pemerintah Cina menyatakan, BRI telah menciptakan ratusan ribu pekerjaan bagi penduduk lokal di luar negeri. Ini berarti, penduduk lokal Cina yang meraup untung bukan penduduk lokal di mana Cina berinvestasi.
Menurut Reuters, Cina selama beberapa dekade telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari US$5 miliar. Sama halnya dengan Sri Lanka, Kirgistan pun bergulat memenuhi tenggat pembayaran di saat menghadapi masalah keuangan akibat pandemi Covid-19.
Sebuah penelitian dari AidData tahun lalu juga mengungkapkan, pinjaman yang disediakan Cina berbeda dari kebanyakan pemerintah Barat, pertama karena pinjaman tersebut lebih mengutaman keuntungan.
Para peneliti menyimpulkan, BRI dirancang untuk mengunci akses ke sumber daya alam dan komoditas yang tidak diproduksi oleh Cina. Penelitian itu juga menegaskan, Cina dengan sengaja membuat jebakan utang ke negara-negara miskin.
Hipotesis itu muncul karena apabila tidak mampu membayar, maka Cina akan memengaruhi hubungan diplomatik atas pemerintahan debitur atau merebut kepemilikan proyek infrastruktur yang belum dilunasi.