BARISAN.CO – Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada tahun 1999 menjadi salah satu dari 12 peristiwa yang dinyatakan ada pelanggaran HAM berat oleh Pemerintah.
Pada 3 Mei 1999, terjadi sebuah konflik di Aceh yang disebut nama Tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft) atau yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh.
Tragedi Simpang KKA yang terjadi di Kecamatan Dewantara, Aceh, bermula dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI. Tentara militer kala itu menembaki massa yang tengah berunjuk rasa memprotes penganiayaan terhadap warga.
Insiden ini menewaskan 46 orang, 7 di antaranya anak-anak. Sebanyak 150-an orang mengalami luka tembak dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu.
Kronologi Kejadian
Aksi penembakan Tragedi Simpang KKA ini awalnya bermulai dari hilangnya beberapa anggota TNI dari kesatuan Den Rudah 001/Pulo Rungkom pada 30 April 1999.
Hilangnya anggota TNI tersebut kemudian diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharram yang tengah diadakan oleh warga di Desa Cot Murong, Aceh.
Pasukan Militer Detasemen Rudah menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melakukan operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan berbagai satuan, termasuk melibatkan Brimob.
Dalam aksi penyisiran yang dilakukan oleh aparat di desa tersebut, setidaknya mereka menangkap 20 orang dan melakukan kekerasan seperti aksi tendang, pukul hingga aksi pengamcaman yang dilakukan aparat pada korban yang ditangkap.
Penganiayaan terhadap 20 oang warga desa tersebut kemudian memunculkan aksi dari warga desa untuk melakukan negosiasi dengan komandan TNI. Hasil negosiasi tersebut, Komandan TNI menjanjikan warga desa bahwa aksi kekerasan tersebut tak akan terulang kembali.
Sayangnya, ucapan Komandan TNI ini tak ditepati karena pada tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara kembali memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat. Masuknya truk TNI tersebut awalnya dihalau oleh warga setempat hingga membuat warga marah atas janji yang tak terpenuhi tersebut.
Alhasil, warga Desa Cot Murong melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut janji yang diberikan komandan TNI.
Pada siang hari, para pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang tempatnya berdekatan dengan markas Korem 011.
Warga yang melakukan unjuk rasa di sana kemudian mengirimkan 5 perwakilan untuk bisa melakukan negosiasi lanjutan dengan Komandan TNI.
Namun, selama negosiasi masih berlangsung, jumlah TNI yang datang untuk mengepung warga semakin bertambah banyak dan mendominasi. Warga pun melempar batu ke arah markas Korem 011 dan membakar dua sepeda motor yang ada disana.
Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti tiba-tiba datang dari belakang dan mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa.
Hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM pada 2014 menyatakan, ada bukti permulaan yang cukup, bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM dalam peristiwa itu. [rif]