UMMAT Islam Bulan Rabiul Awal kalender Hijriyah, selalu diperingati sebagai hari kelahiran nabi Besar Muhammad SAW. Muhammad SAW dilahirkan pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal, tahunnya, Tahun Gajah (‘Aamil Fiil), tepatnya 53 tahun sebelum penanggalan Hijriyah dimulai atau bertepatan dengan tahun 570 Masehi.
Tahun kelahiran Nabi disebut tahun Gajah karena bertepatan dengan peristiwa penyerangan Makkah oleh Gubernur dari kekaisaran Bizantium di Syiria bernama Abrahah yang mengendarai gajah. Peristiwa tersebut diabadikan oleh Al-quran dalam surat Al-fiil (gajah), yang intinya mengisahkan kegagalan penyerangan tersebut.
Pasukan Raja Abrahah luluh-lantak oleh serangan burung ababil yang menghujani mereka dengan batu.
Meski tidak disyariatkan secara khusus oleh Nabi, Maulid Nabi untuk mengenang hari kelahiran Muhammad SAW adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Islam di seluruh dunia.
Sebagai seorang yang pernah tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional pantai utara Jawa, Mulid Nabi selalu memberikan kesan tersendiri pada masa kanak-kanak saya. Di kampung, kami merayakan hari tersebut dengan sangat meriah, mulai pagi hari para ibu kami membuat masakan-masakan istimewa untuk dibawa ke langgar (masjid).
Sorenya, kami berkumpul membuat upacara Maulid dengan melantunkan shalawat dan puji-pujian kepada Nabi. Tak jarang kami juga menyelenggarakan pengajian akbar dengan mengundang dai kondang di kota kami.
Sebelum pengajian akbar, kami membuat pawai besar-besaran yang diikuti para pelajar madrasah dan orang tuanya. Kisah-kisah perjalanan Nabi menjadi inti utama ceramah para dai yang hadir pengajian akbar kami. Puncak acara perayaan adalah pembacaan kita Al-Barzanji yang dibacakan secara bergilir oleh lantunan suara-suara indah kami. Saat-saat pembacaan kitab maulid Al-Barzanji adalah bagian yang paling membuat saya terkesan. Kami duduk membentuk lingkaran besar dengan masing-masing membawa kitab Al-Barzanji di tangannya.
Dengan dibuka oleh bait pertama berbunyi abtadi’ul imlaa bismidzdzaatil ‘aliyyah (artinya: kami memulai komuni ini dengan nama dzat yang maha mulia), masing-masing dari kami mendapat jatah untuk membaca bait-bait syair dalam kita tersebut. Sebenarnya, kitab tersebut sebenarnya bukan hanya dibaca pada saat perayaan Maulid saja, bahkan setiap malam Jum’at kami selalu membacanya dengan menggunakan toa dari musholla. Saking seringnya membaca saya sendiri pernah sampai hafal hampir semua bait-baitnya yang berjumlah sekitar 560 syair itu.