Scroll untuk baca artikel
Terkini

Kondisi Cuaca dan Analisa Awal Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182 [Bagian 2]

Redaksi
×

Kondisi Cuaca dan Analisa Awal Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182 [Bagian 2]

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pesawat Sriwijaya Air SJ182 dengan tujuan penerbangan Jakarta-Pontianak dipastikan jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada pukul 14.40 WIB Sabtu (9/1/2021).

Lokasi jatuhnya pesawat tersebut sebenarnya dekat dengan tempat para nelayan Pulau Lancang melaut. Dari kesaksian nelayan setempat, Solihin, yang berada sekitar 200 meter dari lokasi jatuhnya pesawat mengatakan saat itu cuaca buruk. Sehingga jarak pandang terbatas.

Hal ini sesuai dengan data yang di beberkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Menurut BMKG, pada pukul 14.40 WIB hari Sabtu (9/1/2021), terdapat awan cumulonimbus (Cb) dengan radius bentangan awan sekitar 15 km dan suhu puncak awan mencapai minus 70 derajat Celsius.

“Ini mengindikasikan labil tinggi dan pesawat pasti mengalami turbulen kuat ketika melewatinya,” kata Dosen Meteorologi STMKG Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Deni Septiadi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/1/2021).

Deni menjelaskan, data observasi BMKG Cengkareng juga menunjukkan curah hujan intensitas sedang hingga lebat disertai petir dengan jarak pandang (visibility) yang hanya 2 km meskipun layak untuk take off maupun landing. 

“Arah angin di sekitar pesawat hilang dari level permukaan (1000 hpa) persisten dari Barat Laut, kemudian pada ketinggian 3000 m (700 hpa) persisten dari Barat Daya. Artinya dari sisi angin sebenarnya tidak memiliki indikasi cross wind yang berarti,” beber dia.

Peneliti Petir dan Atmosfer ini lalu menerangkan, dari data yang didapat dari FlightRadar24, pada pukul 14.38 WIB pesawat sudah lepas landas dengan kecepatan 230-248 knot (426-459 km/jam) dan ketinggian 5680-7993 kaki (1.7-2.4 km). Lalu, lanjut Deni, pada pukul 14.39 WIB kecepatan meningkat menjadi 268-285 knot (496-528 km/jam) dengan ketinggian jelajah 9175-10667 kaki (2.8-3.3 km).

Analisa awal Deni, pesawat sepertinya mengalami Stall akibat gagal climb yaitu daya angkat (lift) kurang diindikasikan dengan penurunan ketinggian ekstrem menjadi 250 kaki (76 m). Dalam 1 menit ketinggian pesawat dari yang tadinya 3.3 km menjadi 76 m.

“Jadi proses awalnya. Pesawat stall enggak mampu naik secara aerodinamis, pasti moncong agak ke atas, ekor di bawah. Pesawat pasti berputar ekstrem dan dengan ketinggian terakhir 3 Km moncong pesawat akan mengarah ke bawah diindikasikan adanya belokan pesawat dan ekstrem speed stall mencapai 200 km per jam,’’ terang Deni.

Beberapa hal yang memungkinkan pesawat stall secara ekstrem dalam 1 menit, menurut Deni, adalah pesawat tidak memiliki daya angkat kemungkinan akibat gagal mesin. 

“Sementara cuaca buruk atau adanya sel Cb juga mempengaruhi kondisi aerodinamis akibat turbulensi sehingga mengganggu dan mempengaruhi performa pesawat dan dapat mengarah pada gagal mesin. Posisi dan kemiringan pesawat terhadap aliran angin juga dapat mengarah pada posisi stall,” jelas dia.

Meski demikian, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hingga kini masih terus menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat yang membawa 62 jiwa, terdiri dari: 6 awak pesawat dan 56 penumpang. Rinciannya: 43 dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi itu. []