Scroll untuk baca artikel
Terkini

Konsumen Beralih ke Tingwe Setelah Cukai Rokok Naik

Redaksi
×

Konsumen Beralih ke Tingwe Setelah Cukai Rokok Naik

Sebarkan artikel ini

Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) awal tahun 2023 belum efektif mengurangi jumlah perokok aktif.

BARISAN.CO Kementerian Keuangan mencatat adanya penurunan produksi rokok sebesar 1,5% pada Januari 2023. Disebut-sebut, tren ini merupakan akibat langsung dari tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang dinaikan di awal tahun.

Banyak konsumen pun mulai mencari alternatif menyesuaikan perubahan. “Saya beralih ke rokok tingwe [ngelinting dhewe; lintingan manual, red]. Lebih murah sehingga menghemat pengeluaran,” kata Adam, salah satu konsumen rokok di Jakarta.

Adam hanya satu dari sekian konsumen yang beralih akibat kenaikan cukai. Hal ini tidak mengagetkan. Rokok, bagi para konsumennya, adalah barang inelastis nyaris sempurna. Permintaan barang inelastis tidak akan turun meski terjadi perubahan harga.

Adam mengatakan dirinya sudah sepenuhnya beralih ke tembakau linting sejak setahun terakhir.

Dari hitung-hitungannya, dahulu ia mengeluarkan rata-rata Rp700 ribu per bulan untuk membeli sigaret pabrikan. Sekarang, pengeluarannya hanya Rp200 ribuan untuk tembakau linting.

“Sempat juga beralih ke rokok kretek ataupun rokok elektrik, tetapi tingwe lebih murah dan rasanya bahkan lebih sedap dibanding sigaret pabrik,” kata Adam.

Ia biasa membeli tembakau madura. Harganya berkisar Rp20 ribu per ons. Jika stok tembakau madura di toko langganannya habis, Adam punya banyak pilihan lain di antaranya tembakau gayo, temanggung, maupun sumedang. Rentang perbedaan harga antara tembakau tidak terlalu jauh.

Jumlah Perokok Tak Berkurang?

Produksi rokok di Indonesia mencapai 323,9 miliar batang pada 2022. Jumlah ini turun 3,26% dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar 334,8 miliar batang.

Penurunan ini bisa jadi merupakan langkah awal keberhasilan pemerintah menekan jumlah perokok.

Sebagaimana diketahui, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pemerintah menarget prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun turun menjadi 8,7%.

Namun, menaikkan harga cukai tampaknya belum terlalu efektif untuk mengejar target itu. Harus dipahami bahwa mengonsumsi rokok adalah kebutuhan primer bagi para konsumennya, lebih-lebih mereka yang masuk kelas berat.

Perlu juga dikaji lagi bagaimana pergeseran konsumen dari yang biasanya membeli sigaret pabrik menjadi rokok alternatif dari mulai tingwe, elektrik, tembakau yang dipanaskan, kantong nikotin, dan lain-lain.

Kajian mendalam pun diperlukan untuk mencari produk alternatif yang bisa dijadikan ‘obat’ bagi perokok aktif untuh berhenti merokok. Jika hanya parsial, dan jika pemerintah tidak melibatkan akademikus, industri, maupun asosiasi dalam hal ini, upaya mengurangi kecanduan rokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat bisa jadi tidak berhasil dengan baik. [dmr]