“HALO Bos, iya Bos. Ada job? Oh, nggak bisa. Nggak bisa ditinggal. Soalnya saya lagi ngopi. Ini waktunya saya ngopi. Kopi hitam lagi. Kalau kopi susu mungkin bisa saya tinggal.”
Itulah monolog lucu seolah ditelepon seorang atasannya yang tengah viral di Instagram. Monolog itu bisa digunakan siapa saja dengan berbagai angle sesuai selera.
Kopi memang produk endemik Indonesia walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Karena kopi menurut sejarahnya berasal dari Ethiopia di Benua Afrika yang kemudian sampai ke Eropa dan dibawa kolonial sampai ke Asia dan Amerika Latin.
Dalam buku “How Starbucks Saved My Live” disebutkan kopi ditemukan ratusan tahun yang lalu oleh seorang penggembala kambing di Ethiopia. Sang penggembala terpesona ketika kambing-kambingnya sangat agresif dan kaki belakangnya ikut menari mengikuti irama seruling yang ditiupnya.
Sambil menari-nari ternyata kambing itu juga mengunyah buah-buahan sejenis berry. Merasa penasaran, sang pemuda itu pun mencoba mengunyah berry dari pohon yang tidak terlalu tinggi tersebut. Alhasil, pemuda itu menjadi ikut-ikutan tergerak untuk berdansa bersama kambing-kambingnya.
Belakangan berry tersebut dikenal sebagai biji kopi. Masyarakat Ethiopia pun tidak lagi berburu di bukit yang jauh tetapi mulai menanamnya dan menarik perhatian penjajah.
Seorang Prancis membawa bibit kopi ke Amerika Latin pada awal abad ke delapan belas dan orang Belanda membawa tanaman kopi itu ke Indonesia lebih awal yaitu abad keenambelas.
Dari sisi produksi Indonesia termasuk empat besar dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia.
Pada zamannya di Indonesia tumbuh subur dengan jenis kopi Arabika yang hidup di ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut. Namun saat zaman kolonial kopi jenis ini nyaris punah karena diserang hama dan yang tahan banting tinggal jenis kopi Robusta.
Karena itu kini sekira 70 persen produksi kopi Indonesia didominasi jenis Robusta. Ketika Belanda berkuasa, pembibitan kopi dipusatkan di pinggiran Batavia atau tepatnya di Pondok Kopi. Benih kopi selanjutnya disebar hingga ke pelosok negeri termasuk di Bogor, Jawa Barat.
Nah, salah satu produk kopi di kawasan Bogor dan sekitarnya yang sampai kini bertahan adalah Kopi Liong Bulan. Kemasannya sangat sederhana dan hanya dua varian, kopi plus gula dan kopi tanpa gula. Tak lebih dari itu.
Saya tidak bisa mendefinisikan rasa kopi ini. Seseorang harus mencobanya sebelum percaya atau berkomentar lebih jauh. Setelah mencoba jangan salahkan saya bila ketagihan. Kopi Liong Bulan tak pernah promosi, pemasarannya dari mulut ke mulut alias getok tular.
Pernah, suatu waktu di medsos dan di sejumlah media daring dikabarkan pabrik Kopi Liong Bulan akan ditutup alias bangkrut dengan alasan tidak ada pewarisnya.
Kontan saja netizen bereaksi. Kabarnya sangat masif. Banyak yang menyayangkan dan mereka pun menggalang dukungan agar pabrik kopi punya peranakan China itu tetap berproduksi. Rasa tak bisa dibuang karena sudah nempel di lidah.
Belakangan dikonfirmasi media ternyata yang ditutup bukan pabrik melainkan gudangnya di kawasan Bogor Kota. Sementara pabriknya berada di Cibinong, Kabupaten Bogor.
Netizen pun bahagia. Mereka pun bersyukur. Kopi hitam yang selalu menemani mereka dalam segala cuaca, dalam beragam aktivitas dan di kala sedih dan senang, ternyata tetap berproduksi hingga kini.
Namun, memang ada yang unik. Selain rasanya yang legit dan bikin ketagihan bagi pencinta kopi hitam tubruk, pemasarannya sangat terbatas.
Jangan harap Kopi Liong Bulan bakal ditemukan di seluruh Indonesia, di perbatasan Jakarta pun tidak akan ditemukan. Kalaupun ada kopi yang dibawa tukang kopi keliling pakai sepeda di Jakarta itu pun di bawa dari Depok atau Bogor.