Scroll untuk baca artikel
Blog

Korupsi E-KTP, Ketiadaan Data Penduduk yang Akurat dan Kebijakan Ekonomi Covid-19

Redaksi
×

Korupsi E-KTP, Ketiadaan Data Penduduk yang Akurat dan Kebijakan Ekonomi Covid-19

Sebarkan artikel ini

Sisi produksi barang dan jasa tersebut biasa disebut sebagai penawaran agregat. Akan turun menyusul melemahnya permintaan agregat. Jika wabah berlangsung lebih lama, maka laju penurunan keduanya menjadi lebih cepat. Terjadi dalam waktu bersamaan, dan saling mempengaruhi.

Dalam perspektif makroekonomi, akan tampak berupa merosotnya pertumbuhan ekonomi. Pemerintah telah mengemukakan skenario berat berupa prakiraan pertumbuhan ekonomi 2,3% pada tahun 2020. Disebut pula skenario sangat berat di kisaran -0,4%.

Sebenarnya tidak dapat dipastikan skenario atau batas bawah pertumbuhan ekonomi. Bergantung pada perkembangan pandemi Covid-19. Dan sekali lagi, dampak ekonomi yang menyulitkan adalah kepanikan ekonomi dan keuangan dunia. Dinamika global sejauh ini selalu berdampak cepat pada ekonomi Indonesia, terutama dalam fenomena yang buruk.

Bagaimanapun, pemerintah telah bersiap diri menghadapi beberapa skenario dampak buruk atas perekonomian. Payung hukum telah ditetapkan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomer 1 tahun 2020. Dilihat dari substansi konten, Perppu ini termasuk jenis omnibus law. Bahkan, sebagian isinya mengatur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang notabene independen.

Kebijakan ekonomi yang sudah dan akan dilakukan diutarakan dalam keterangan pers bersama pada 1 April. Berlanjut dalam rapat kerja Bersama komisi XI DPR pada 6 April. Otoritas ekonomi ingin memberi sinyal positif adanya konsolidasi yang makin kuat dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari: Kemekeu, BI, OJK, dan LPS.

Penulis apresiasi atas langkah dan kesiapan otoritas ekonomi. Catatan kritis mesti terus diberikan. Salah satunya adalah terkait akurasi data yang dimiliki otoritas ekonomi, terutama pemerintah, sebagai dasar kebijakannya.

Sebagai contoh, kebijakan Social Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberi tambahan alokasi dana sebesar Rp110 triliun. Konsepnya terutama menambah (top up) dari program yang telah ada (existing) seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan sembako (dahulu raskin/rastra), Kartu Pra Kerja, Pembebasan tarif listrik, Insentif Perumahan bagi MBR, dan program JPS Lainnya. Disebut pula ada alokasi cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar logistik, serta penyesuaian anggaran Pendidikan.

Berbagai evaluasi atas pelaksanaan JPS selama ini antara lain bermuara pada kurang tepatnya sasaran. Banyak pihak yang tidak memperoleh, padahal sangat berhak. Dan masih ada kejadian sebaliknya. Tumpang tindih sasaran program merupakan fenomena tersendiri. Jika faktor moral hazard dinihilkan, maka masalah yang mengedepan adalah data yang tidak memadai.