Scroll untuk baca artikel
Blog

Korupsi E-KTP, Ketiadaan Data Penduduk yang Akurat dan Kebijakan Ekonomi Covid-19

Redaksi
×

Korupsi E-KTP, Ketiadaan Data Penduduk yang Akurat dan Kebijakan Ekonomi Covid-19

Sebarkan artikel ini

Kebijakan ekonomi yang sudah dan akan dilakukan diutarakan dalam keterangan pers bersama pada 1 April. Berlanjut dalam rapat kerja Bersama komisi XI DPR pada 6 April. Otoritas ekonomi ingin memberi sinyal positif adanya konsolidasi yang makin kuat dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari: Kemekeu, BI, OJK, dan LPS.

Penulis apresiasi atas langkah dan kesiapan otoritas ekonomi. Catatan kritis mesti terus diberikan. Salah satunya adalah terkait akurasi data yang dimiliki otoritas ekonomi, terutama pemerintah, sebagai dasar kebijakannya.

Sebagai contoh, kebijakan Social Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberi tambahan alokasi dana sebesar Rp110 triliun. Konsepnya terutama menambah (top up) dari program yang telah ada (existing) seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan sembako (dahulu raskin/rastra), Kartu Pra Kerja, Pembebasan tarif listrik, Insentif Perumahan bagi MBR, dan program JPS Lainnya. Disebut pula ada alokasi cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar logistik, serta penyesuaian anggaran Pendidikan.

Berbagai evaluasi atas pelaksanaan JPS selama ini antara lain bermuara pada kurang tepatnya sasaran. Banyak pihak yang tidak memperoleh, padahal sangat berhak. Dan masih ada kejadian sebaliknya. Tumpang tindih sasaran program merupakan fenomena tersendiri. Jika faktor moral hazard dinihilkan, maka masalah yang mengedepan adalah data yang tidak memadai.

BPS telah secara rutin melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret dan September tiap tahun. SUSENAS menghasilkan data yang cukup rinci. Dari data itu, tingkat kemiskinan dihitung. Begitu pula informasi tentang profil rumah tangga miskin, dan indikator penting lainnya dalam hal kesejahteraan penduduk.

Bagaimanapun, SUSENAS masih merupakan survei. Sampelnya pada bulan Maret mencapai 300.000 rumah tangga, dan bulan September hanya 75.000 rumah tangga. Hasilnya cukup berguna untuk analisis dan rekomendasi bagi landasan kebijakan. Namun, untuk kebutuhan “praktis” nyaris tak bisa dipakai. Data kemiskinan misalnya, bukan by name by address. Siapa saja dan dimana saja 24,79 juta penduduk miskin itu, tak akan bisa dijawab BPS. Apalagi jika ditambahkan dengan yang hampir miskin dan rentan miskin.

Sempat dikembangkan data terpadu tentang kemiskinan yang dikoordinasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K membangun basis data berisi sekitar 25 juta rumah tangga atau hampir 100 juta penduduk kelompok berpendapatan terbawah. TNP2K dibantu oleh BPS menyelenggarakan semacam sensus kemiskinan, pada 2005 dan 2011. Data kemudian update berkelanjutan bersama pihak terkait, termasuk pemerintah daerah.

Peran TNP2K sejak era Jokowi I perlahan menjadi “terpinggirkan” dalam proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Update data tak berjalan lancar. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah banyak yang tidak bekerja sama secara aktif. Kini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalami kendala serius tentang siapa saja dan persisnya berada dimana yang harus dibantu.

Perlu pula diingat kembali soal kasus korupsi kasus E-KTP. Kerugian bangsa akibat itu bukan lagi angka APBN seperti dalam persidangan, melainkan ketiadaan data penduduk yang akurat. Padahal kini amat dibutuhkan.

Kebijakan ekonomi kini benar-benar terkendala oleh ketiadaan data yang memadai. Penulis amat berharap kesadaran akan data akurat tentang rakyat Indonesia menjadi hikmah dari musibah pandemi.

Semoga pandemi segera teratasi, dan dampak ekonominya bisa dimitigasi secara baik dan cepat.