Scroll untuk baca artikel
Blog

Kreatif dan Hedonis

Redaksi
×

Kreatif dan Hedonis

Sebarkan artikel ini

DI JAWA TENGAH tengah berlangsung pameran lukisan. Di Galeri Semarang, pameran lukisan “Rukun Agawe Sentosa” oleh puluhan perupa dari Yogya. Dan di Galeri OHD Magelang, pameran “Lanskap Gus Mus” oleh Gus Mustofa Bisri dan keluarga.

Tentulah pameran itu menyajikan kreativitas perupanya. Satu olah jiwa dalam bahasa garis dan warna yang tersaji sebagai karya seni lukis. Sebagaimana satu teori mengatakan, kekuatan lukisan dilihat dari garisnya, keindahan lukisan dilihat dari warnanya.

Garis dan warna sebagai bahasa seni lukis inilah yang memberi apresiasi kepada publiknya. Satu komunikasi jiwa, sebagaimana yang pernah dikatakan Rendra sebagai: tegur sapa antara sukma dan Sukma. Bagaimana arti ‘rukun agawe sentosa’ termaknai. Bagaimana makna Lanskap Gus Mus bertegursapa dengan setiap jiwa.

Diksi pameran tentu berbeda dengan pamer, terlebih pamer kemewahan yang sedang viral. Keviralan yang barangkali menutup viral pameran lukisan itu. Bagaimana hari-hari ini kita dihibukkan oleh berita televisi atau YouTube, tentang pameran kemewahan yang hampir tanpa kendali.

Pameran jiwa berjiwa dalam karya seni, tertutup oleh pamer kebendaan. Pameran olah kreatif terkalahkan oleh pamer laku hedonis. Terlebih kenyataan menunjukkan, kemewahan yang mereka pertontonkan diperoleh dari hasil korupsi. Pertanyaannya, mana bisa seniman korupsi, kecuali korupsi kalau tidak kreatif.

Sungguh perbedaan yang menyakitkan bagi seniman yang terus bertarung dengan kerja kreatifnya. Sementara mereka, para koruptor, sebenarnyalah para maling yang dengan mudah mencuri uang rakyat. Dan mereka, tanpa malu, mempertontonkan hasil nyolongnya secara ugal-ugalan.

Betapa lebih menyakitkan bagi rakyat kecil, orang miskin, yang menyaksikan pamer hasil nyolong uang rakyat itu. Bagaimana benda-benda mahal, jutaan bahkan milyaran, berseliweran di tengah kehidupan wong cilik yang berpikir kebutuhan sehari-hari untuk sekadar mengisi perut.

Toh rakyat terus bekerja keras, tetap bertahan hidup sambil membayar pajak. Sementara uang pajak itu justru dicolong oleh petugasnya. Sungguh ini bukan berita fiktif, tapi kenyataan yang berlangsung di depan mata. Dan, tentu, akibat yang ditimbulkannya, membuat rakyat makin hidup menderita.

Masihkah seniman, setelah menggulowentah rasa keindahan, diberi beban lagi untuk memberi muatan akan keadaan korup ini, dalam karya-karyanya. Sebagaimana penyair Wiji Thukul yang tak ketahuan nasibnya dihilangkan oleh koruptor orde baru. Seperti para penyair dalam “Penyair Menolak Korupsi” Sosiawan Leak dkk yang bersafari dari kota ke kota.

Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer yang di sepanjang hidupnya dipasung kreativitasnya oleh para despot, dan ia berbicara tentang bangsa ini dalam karya-karya sastranya. Seperti Djoko Pekik yang sebagaimana Pramoedya, nyaris hilang nyawa, dan ia terus melukis celeng simbol dari penguasa deksura.

Alangkah beratnya beban kreatif seniman, seberat nasib rakyat dalam ketertindasan struktur dan sistem. Sementara, mereka para koruptor, tanpa ada rasa kemanusiaan, dengan enak hidup hedonis, bermewah-mewah dengan uang milyaran-triliunan dari nyolong uang rakyat. Kita jadi ingat pertanyaan Rendra dalam satu larik puisinya: hidup macam apa ini, saudara?*