“Temuan ini menggarisbawahi perlunya terapi tidur pada orang yang berisiko tinggi terkena penyakit ini serta pemeriksaan mata di antara mereka yang memiliki gangguan tidur kronis untuk memeriksa tanda-tanda awal glaukoma,” tambah peneliti.
Glaukoma adalah penyebab utama kehilangan penglihatan dan kebutaan. Berdasarkan studi prevalensi, diperkirakan 79,6 juta orang akan menderita glaukoma pada tahun 2020. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat menjadi 111,8 juta orang pada tahun 2040.
Setidaknya, setengah dari mereka yang menderita glaukoma saat ini tidak menyadarinya. Di beberapa negara berkembang, 90% glaukoma tidak terdeteksi.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di Opthamology mengungkapkan, glaukoma yang tidak terdeteksi sangat lazim di komunitas yang beragam di seluruh dunia dan mungkin lebih umum di Afrika dan Asia. Pada tahun 2020, sekitar 44 juta kasus Glaukoma Sudut Terbuka Primer (POAG) tidak terdeteksi, di mana sekitar 77% berasal dari penduduk Afrika dan Asia.
Dalam kebanyakan kasus, kebutaan dapat dicegah dengan kontrol dan pengobatan yang tepat. Sayangnya, banyak individu yang tidak menyadari adanya glaukoma. Kesadaran yang lebih baik dapat mencegah kecacatan visual pada banyak orang.
Kehilangan penglihatan akibat glaukoma sangat berdampak pada kemandirian banyak orang yang merupakan bagian dari populasi yang menua ini. Selain dampak glaukoma pada kehidupan pribadi, ada beban ekonomi yang meningkat pada masyarakat.
Alasan di balik kasus glaukoma yang tidak terdeteksi bukan hanya masalah pendapatan dan pembangunan negara, yang terkait dengan infrastruktur perawatan kesehatan yang lebih kuat, akses ke layanan kesehatan berkualitas, dan hasil kesehatan lebih baik. Sebaliknya, ilmuwan berpendapat, penyebabnya berasal dari interaksi kompleks dari banyak faktor seperti kekurangan individu, komunitas, dan tingkat kebijakan.