BARISAN.CO – Otak menciptakan jalan pintas mental sebagai cara untuk membantu merespon situasi dengan cepat berdasarkan pengalaman masa lalu atau pesan sosial tentang berbagai ras, sehingga mengarah ke stereotip. Tetapi, jalan pintas ini adalah generalisasi dan jarang merupakan penilaian yang akurat dari individu atau kelompok. Atau yang dikenal sebagai bias kognitif.
Setelah menetapkan keyakinan ini, sulit untuk mengubah cara berpikir kita. Ini karena kita tidak mencari bukti yang menegaskan keyakinan itu dan mengabaikan bukti yang bertentangan.
Jika dibiarkan, stereotip dapat menyebabkan perilaku diskriminatif. Mengakui stereotip, bagaimanapun, dan dampak psikologis yang mereka dapat adalah langkah pertama dalam meruntuhkan keyakinan tersebut.
Penelitian di Universitas New York menemukan, stereotip yang kita pegang dapat memengaruhi sistem visual otak, mendorong kita untuk melihat wajah orang lain dengan cara yang sesuai dengan stereotip ini. Penelitian PNAS juga menunjukkan, pria kulit hitam muda yang berbadan tinggi menghadapi ancaman dan diskriminasi lebih besar dari petugas polisi.
Saat bertemu seseorang, kita membuat penilaian sepersekian detik berdasarkan penampilan orang tersebut. Dalam sekejap, otak menentukan apakah seseorang dapat dipercaya dan aman, atau apakah mereka mungkin menimbulkan semacam risiko emosional, sosial, atau fisik. Dan, penilaian ini akan memengaruhi perasaan dan cara kita bertindak.
Banyak stereotip dikembangkan ketika kita masih kecil. Misalnya saja saat melihat orang berkulit hitam legam, kita langsung menjustifikasi orang tersebut.
Stereotip tersebut juga dialami oleh La Ode Basir. Saat pertama kali bertemu, beberapa orang mengira dia adalah sosok yang sangar, bringas, berantakan, dan sebagainya. Namun, tentu saja itu tidak benar.
“Saya kan suka golf, di lapangan kadang cuddy ga mau bawa atau menghindari saya. Mereka saling berbisik bilang kalau saya galak,” kata Presidium Nasional Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) pada Jumat (12/8/2022).
Tapi, setelah itu, tahu kalau ternyata La Ode itu baik dan murah senyum.
“Istri saya bilang muka Ahmad Albar, hati Rinto Harahap,” ujarnya sembari di selingi tawa.
La Ode ternyata memiliki sisi yang jarang diketahui banyak orang. Pria asal Sulawesi Tenggara itu ternyata sosok yang rapi. Saat Barisanco datang berkunjung, dia menunjukkan lemari bajunya yang tertata sangat rapi.
Dia menuturkan, di rumahnya pun, La Ode termasuk penggila kebersihan dan kerapihan.
“Saya itu harus pulang minimal sebulan sekali karena saya mengecek debu yang menempel dan membersihkan rumah,” lanjutnya. La Ode.
Tak jarang orang menganggap kebanyakan pria perokok atau peminum alkohol. Namun, yang mengejutkan, La Ode justru bukan termasuk di antara keduanya.
Dia bahkan tidak bisa minum kopi hitam. Dalam kesempatan itu, La Ode bercerita saat usianya sekitar 35 tahun, untuk pertama kalinya dia minum kopi hitam di Toraja. Malam harinya, dia kesulitan tidur.
“Awalnya sih ga sadar, tapi sampai setengah 3 pagi, kok saya masih ga bisa tidur. Akhirnya, saya merenung kenapa saya ga bisa tidur dan itu pengaruh kopi yang saya minum itu,” ungkapnya.
Kini, La Ode hanya konsumsi kopi mix atau kalau pun buat sendiri, lebih tepatnya disebut gula rasa kopi. Saat pergi ke coffeeshop pun demikian, dia pesan kopi susu dengan kopi yang sangat sedikit.
Dia mengaku pertama kali baru belajar merokok di tahun 2017.
“Setelah mas Anies menang putaran pertama memasuki putaran kedua Pilkada DKI. Waktu itu, ada senior yang tiba-tiba ambil rokok teman dan bilang kalau rokok rasanya enak setelah menang begini,” jelasnya.