Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Lini Masa Elpiji 3 Kg, Dulu Solusi Kemiskinan Kini Jadi Beban Anggaran

Redaksi
×

Lini Masa Elpiji 3 Kg, Dulu Solusi Kemiskinan Kini Jadi Beban Anggaran

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Sejak digulirkan tahun 2007, program subsidi elpiji 3 kg bisa dikata adalah fenomena konversi energi paling kolosal di Indonesia.

Praktis, program ini membuat masyarakat ramai-ramai meninggalkan kebiasaan lama yang dahulu amat bergantung pada minyak tanah untuk memasak.

Saat elpiji 3 kg datang, tak ada lagi istilah repot menanak nasi. Dinding dapur yang hitam penuh jelaga tinggal kenangan. Seluruh rumah tangga Indonesia seolah sepakat tabung hijau seukuran melon ini merupakan penemuan yang mendekati keajaiban.

Dalam penelusuran arsip berita, kita bisa membaca pengalaman-pengalaman positif masyarakat yang terungkap saat pertama kali menikmati kebijakan konversi ini.

Umumnya, selain dianggap lebih bersih, dikatakan pula elpiji melon lebih hemat dan efisien.

Kesaksian masyarakat itu sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Pertamina. Penelitian menunjukan, biaya produksi minyak tanah berkisar di angka Rp6.700/liter, jauh lebih mahal dibanding elpiji yang hanya Rp4.250/liter.

Sementara itu minyak tanah juga lebih boros: 1 liter pemakaian minyak tanah setara 0,57 Kg elpiji. Dari sini amat jelas elpiji mutlak lebih ekonomis dan efisien.

Tapi meski banyak praktik baik yang ditemukan, rupanya Tim Nasional Percepatan Penganggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat subsidi elpiji 3 kg memberikan tekanan fiskal yang berat terhadap APBN.

Hal ini adalah efek samping seturut meningkatnya ketergantungan akan elpiji 3 kg. Tahun 2020 lalu, ada 8,02 juta ton elpiji yang beredar secara nasional. Dari jumlah tersebut, sebanyak 6,39 juta ton di antaranya merupakan impor.

Kementerian ESDM memproyeksikan, ketergantungan impor elpiji akan terus berlanjut sampai tahun 2024, yakni mencapai 10,01 juta ton untuk memenuhi kebutuhan elpiji sebanyak 11,98 juta ton.

Saatnya Diversifikasi

Upaya menurunkan ketergantungan impor elpiji bisa dilakukan dengan strategi diversifikasi. Saat ini, pemerintah telah membuat banyak rencana dan program alternatif demi mengurangi pemakaian elpiji.

Ada tiga rencana yang santer berembus di media. Pertama, program pembangunan infrastruktur jargas untuk rumah tangga; Kedua, program penggantian kompor elpiji ke kompor listrik; Ketiga, penggantian tabung LPG ke tabung DME.

“Pemerintah sebaiknya mendorong pemanfaatan kompor listrik, bisa mengurangi kebutuhan elpiji sehingga impor berkurang,” kata Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Paul Butarbutar, kepada Barisanco Minggu (12/12/2021).

Dibanding alternatif lain, menurut Paul, pemasangan kompor listrik merupakan opsi yang paling cepat untuk mengurangi ketergantungan elpiji 3 kg. Berbeda misalnya dengan pengembangan jargas yang membutuhkan investasi lebih besar untuk pemasangan.

“Jaringan gas juga terbatas. Ketersediaan gas juga menjadi pertanyaan tersendiri. Sementara itu, saya masih berpendapat bahwa gas itu ada baiknya digunakan sebagai feedstock, misalnya untuk pupuk, karena nilai tambah lebih tinggi,” kata Paul.

Paul juga menjelaskan pemakaian kompor listrik juga lebih murah dibandingkan elpiji. Ia mengacu pada hasil analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) yang menyebut kompor listrik bisa mengurangi beban biaya memasak hingga 57 persen dibanding elpiji.

“Di sisi lain, kalau kompor listrik semakin banyak digunakan, maka oversupply listrik di Jawa bisa berkurang karena meningkatnya demand, jadi kerugian PLN bisa berkurang,” kata Paul.

Seperti diberitakan oleh media, tingkat konsumsi listrik masyarakat tergerus akibat pandemi Covid-19. Ini membuat angka permintaan listrik berkurang dan berdampak pada adanya pasokan berlebih atau oversupply PT PLN.