Scroll untuk baca artikel
Opini

Literasi Demokrasi bagi Pemilih Milenial

Redaksi
×

Literasi Demokrasi bagi Pemilih Milenial

Sebarkan artikel ini

Di sisi lain, penggunaan Medsos berpotensi berdampak negatif. Yakni: penyebar ujaran permusuhan, kebencian, hoaks, dan sebagainya, terkait penyelenggaraan Pemilu, peserta Pemilu, kandidat, Penyelenggara Pemilu dan isu-isu Pemilu atau politik lainnya. Hal ini disebabkan informasi dari Medsos belum tentu seluruhnya benar dan valid. Karena berasal dari fabrikasi dan manipulasi. Serta karena  informasi, sumber  dan datanya belum tentu melalui proses verifikasi dan validasi secara secara akurat.  

Muara dari pengaruh negatif  berpotensi melahirkan persepsi dan stigma negatif atau keliru terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Pemilu. Misalnya menimbulkan  anggapan bahwa Pemilu hanya buang-buang energi, waktu dan uang secara percuma; Pemilu hanya ajang pertarungan elit politik yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat; hasil Pemilu tidak akan merubah nasib rakyat, dan sebagainya.

Penguatan Literasi

Dengan karakteristik, persepsi dan opini pemilih milenial yang demikian diferensial dan variatif,  beberapa langkah yang harus dilakukan adalah pertama: mendorong literasi demokrasi bagi terwujudnya pemilih milenial yang cerdas dan kritis. Pemilih cerdas dan kritis tidak hanya bersedia datang ke Tempat  Pemungutan Suara (TPS), melainkan juga bersedia mengawal dan melaporkan pelanggaran dan kecurangan Pemilu, baik secara langsung ke Penyelenggara Pemilku maupun melalui digital, yakni: Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran dan Pelaporan (SigapLapor)  produk Bawaslu.

Kedua, mempertajam literasi demokrasi dengan cara  mendorong pemilih milenial agar benar-benar memahami makna dan tujuan Pemilu sebagai instrument efektif  reward and punishment system bagi partai politik maupun kandidat. Dalam arti: reward (imbalan) bagi partai politik atau kandidat  peserta Pemilu 2024 yang berprestasi  atau punishment (hukuman) bagi yang wanprestasi. reward and punishment system bisa berlaku bagi petahana ataupun pendatang baru  (new comer) dalam percaturan Pemilu.

Ketiga, menguatkan nalar kritis (critical  thinking) kaum milenial agar memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi positif verbal, non verbal maupun digital tentang Pemilu dan kontra narasi terhadap para pihak yang melakukan pembusukan, pelanggaran dan kecurangan Pemilu. Melalui berbagai bentuk cara atau media, khususnya melalui platform Medsos yang kini begitu beragam, banyak digemari dan dikuasai kaum milenial. Bahkan diantaranya banyak yang mumpuni sebagai konten creator digital.

Keempat, pemangku kepentingan Pemilu, khususnya KPU dan Bawaslu harus mengelola Medsos secara profesional. Secara individu, mesti memahami dan menerapkan etika bermedia sosial secara bisak. Misalnya dengan  tidak mengekpose informasi atau visual (selfi-selfian) yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsinya sebagai Penyelenggara Pemilu. Sebab manakala terjadi out of control dalam pengelolaan dan penggunaanMedsos, bukan hanya akan menjadi santapan empuk citizen journalism, melainkan juga bisa diadukan ke ranah pengadil pelanggaran kode etik yakni: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Kelima, Penyelenggara Pemilu perlu berkolaborasi atau membentuk pasukan khusus dunia maya (cyber patrol) yang mumpuni berasal dari kalangan pemilih milenial. Sebab, jika hanya mengandalkan pasukannya sendiri, termasuk dari kalangan kepolisian, agak sulit untuk melakukannya secara efektif dan maksimal. Sebab jumlah personalia atau anggarannya terbatas sementara areal medan perang virtual (maya) sangat terbuka luas dan tidak terbatas.