Selain Robin adalah I Gede Ary Suryantara. Anggota staf Direktorat Pengelolaan Barang Bukti KPK itu kedapatan menggadaikan logam mulia seberat 1,9 kilogram yang sejatinya adalah hasil sitaan KPK. Ary Suryantara melakukan itu demi melunasi utang-utang dan membiayai kepentingan pribadinya.
Kasus keduanya masih berjalan. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa mereka bekerja sendirian: ada aktor lain yang berposisi lebih tinggi dan lebih berwenang dalam lali lintas penyidikan di tubuh KPK.
Lantas sejauh mana komitmen Presiden Jokowi dalam agenda pemberantasan korupsi? Ataukah sebaliknya, justru eksekutif sebenarnya terlibat dalam pelemahan KPK?
Herlambang Wiratman menilai, justru memburuknya pemberantasan korupsi merupakan cerminan kondisi demokrasi yang banyak berakar dari problem kekuasaan. Disahkannya revisi UU KPK, menurutnya, telah menegaskan terjadinya politik dalam kerangka autocratic legalism (legalisme otokratis), di mana para penguasa justru memelintir hukum untuk mencapai tujuan mereka.
Menurut Herlambang, autocratic legalism kemudian menyebabkan terjadinya state captured corruption, yakni kekuasaan yang memasung upaya pemberantasan korupsi.
Namun, meski pemerintah dan DPR ‘memfasilitasi’ penyelewengan melalui regulasi, membiarkan kejahatan, dan mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok, sejumlah masyarakat sipil tetap optimis dapat memperbaiki kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Itu sebab perlawanan hukum tetap dilakukan publik dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan pimpinan KPK dan koalisi masyarakat sipil. Berharap MK membatalkan dan mengoreksi situasi memburuknya pemberantasan korupsi ini,” pungkas Herlambang Wiratman. []