Scroll untuk baca artikel
Blog

LP3ES: Melemahnya Pemberantasan Korupsi Justru Direstui oleh Rezim

Redaksi
×

LP3ES: Melemahnya Pemberantasan Korupsi Justru Direstui oleh Rezim

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COIndeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari semula 40 menjadi 37 di tahun 2020. Disinyalir, revisi terhadap UU KPK Nomor 19 tahun 2019 telah secara langsung menggemboskan renjana bangsa memberantas rasuah.

Melemahnya kinerja antikorupsi, memudarnya transparansi, terjadinya penggelapan alat bukti dan penyuapan kepada penyidik KPK, semakin menegaskan penilaian di atas. Rentetan kasus yang terjadi baru-baru ini kemudian memunculkan pertanyaan: Apakah realitas pemberantasan korupsi tengah menuju arah lebih baik atau justru sebaliknya?

“Situasi KPK sekarang sesungguhnya tak mengejutkan, karena publik telah meragukan komitmen Jokowi dan muncul gugatan publik terhadap janji penguatan KPK, terutama setelah disahkannya UU KPK yang baru.” Kata peneliti LP3ES Herlambang P Wiratman dalam diskusi bertajuk Menakar Komitmen Politik Pemberantasan Korupsi, Selasa (27/4/2021).

Publik, menurut Herlambang, sebetulnya telah memberi perhatian yang begitu besar terhadap kinerja pemberantasan korupsi, yang sejak awal hingga praktiknya kini dipandang telah salah arah. Terbukti dari demonstrasi besar dan luas pada 2019, ketika UU KPK disusun kilat (13 hari) dan akhirnya hingga disahkan.

“Penolakan itu sampai mengorganisir lebih dari 2000 akademisi dari 35 kampus. Saat itu, bahkan diikuti aksi-aksi mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah, hingga timbul korban jiwa. Namun, protes sosial publik meluas sama sekali tidak ditanggapi oleh Jokowi dan pemangku kepentingan. UU KPK memang inisiatif pemerintah masa Jokowi,” tegas Herlambang.

Situasi pembiaran, tak didengar, dan bahkan terjadi kekerasan, menurut Herlambang adalah penanda ketidakseriusan Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Cacat proses dalam revisi ini patut disayangkan. Meski pada akhirnya revisi UU KPK tetap disahkan oleh parlemen.

Ia menyebut, selain cacat proses, penolakan publik sebetulnya juga muncul saat penentuan pansel pimpinan KPK yang juga lahirkan hasil seleksi pimpinan KPK.

Publik pun keras mengkritisi, menolak proses dan tahapannya, bahkan mendapat penolakan kuat dari internal KPK sendiri. Itu lantaran banyak dugaan etik yang mendera calon pimpinan KPK masa itu. Lagi-lagi, kekuasaan, terutama Jokowi, seolah tidak lagi mau mendengar suara publik.

Alhasil, lahirlah orang-orang inkompeten di internal KPK seperti Ajun Komisaris Stefanus Robin Pattuju dan I Gede Ary Suryantara. Mereka adalah contoh terbaru dari cacatnya kondisi KPK sekarang.

Robin, seorang penyidik KPK, ditangkap oleh KPK, atas dugaan menerima uang dari Wali Kota Tanjungbalai. Robin disebut meminta Rp1,4 miliar agar menghentikan pengusutan kasus jual-beli jabatan di Tanjungbalai.

Selain Robin adalah I Gede Ary Suryantara. Anggota staf Direktorat Pengelolaan Barang Bukti KPK itu kedapatan menggadaikan logam mulia seberat 1,9 kilogram yang sejatinya adalah hasil sitaan KPK. Ary Suryantara melakukan itu demi melunasi utang-utang dan membiayai kepentingan pribadinya.

Kasus keduanya masih berjalan. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa mereka bekerja sendirian: ada aktor lain yang berposisi lebih tinggi dan lebih berwenang dalam lali lintas penyidikan di tubuh KPK.

Lantas sejauh mana komitmen Presiden Jokowi dalam agenda pemberantasan korupsi? Ataukah sebaliknya, justru eksekutif sebenarnya terlibat dalam pelemahan KPK?

Herlambang Wiratman menilai, justru memburuknya pemberantasan korupsi merupakan cerminan kondisi demokrasi yang banyak berakar dari problem kekuasaan. Disahkannya revisi UU KPK, menurutnya, telah menegaskan terjadinya politik dalam kerangka autocratic legalism (legalisme otokratis), di mana para penguasa justru memelintir hukum untuk mencapai tujuan mereka.