Scroll untuk baca artikel
Kolom

Majapahit

Redaksi
×

Majapahit

Sebarkan artikel ini

MAJAPAHIT adalah satu kerajaan Jawa setelah Singasari. Meski ada pendapat, bahwa Singasari tidak ada. Mungkin yang disebut Singasari itu Mataram Lama.

Pun ada dua pendapat tentang Majapahit dan Kasultanan Demak. Satu pendapat mengatakan, Majapahit runtuh oleh Demak. Pendapat lain, kala Demak berjaya Majapahit masih berdiri.

Majapahit yang berjaya dengan Mahapatih Gajahmada, terletak di Mojokerto. Kala Muhamad Jamin melakukan riset di Trowulan, menemukan celengan berwajah orang yang dikatakan itu wajah Gajahmada.

Sumpah Gajahmada, akan menyatukan Nusantara, benarkah terlaksana. Atau itu sebagai sumpah belaka. Mesti diingat dalam sejarahnya, kerajaan- kerajaan yang pernah ada adalah para raja dan kerajaan penakluk.

Ada pendahsyatan sejarah yang dipercaya hingga kini. Terutama yang ada kaitan dengan penyatuan nusantara. Satu pendahsyatan demi tegaknya nasionalisme pada eranya.

Nusantara yang disumpahkan Gajahmada, atau yang diperjuangkan Sultan Agung. Hingga yang ditahbiskan Indonesia merdeka, dengan Jamin sebagai penulisnya.

Nusantara dari Sabang sampai Merauke di era Soekarno. Atau Nusantara dari Talaud hingga Rote, yang mau dibangun ibukota negara baru Ibu Kota Nusantara (IKN) Jokowi.

Tampaknya apa yang disebut nusantara masih sebagai pendahsyatan nasionalisme. Nasionalisme yang hingga kini direkayasa oleh perbedaan ideologi yang berujung pada pendahsyatan niat masing-masingnya.

Dalam pada itu nasionalisme sebagai institusi dan nilai masih menjadi cita-cita, sebagaimana sumpah Gajahmada. Toh para pengamat masih berdebat tentang syarat presiden yang harus orang Jawa.

Tidak ada kesadaran atas politik kebudayaan, bahwa Nusantara adalah nilai, dan Indonesia adalah institusi. Keduanya integral dalam jiwa setiap warga negara.

Sebagaimana Islam sejak Mataram Islam mengajarkan keindahan hakiki. Bahwa ketika kita bersujud, martabat kita sebagai manusia tidak merasa direndahkan. Sebabnya, ada kekuatan di atas keindahan budaya, yakni Sang Maha Indah.

Mestinya seperti itulah sikap kita dalam berbangsa dan bernegara. Tidak lagi mewarisi jiwa memaksakan kehendak, personae raja kerajaan penakluk, korup dan pembunuh.

“Buah maja memang pahit, Jendral!”***