Gambang Semarang bukan hanya nama sebuah lagu, tapi juga sebuah struktur, sistem, dan intitusi sosial yang memiliki berbagai dimensi. Dalam konteks ini Gambang Semarang diasumsikan sebagai bentuk struktur sosial yang diamati dari berbagai pendekatan, antara lain dengan menafsirkan pesan salahs atu lirik lagu berikut:
Apa guna bung, malu-malu kucing
Meang-meong di belakang swaranya nyaring
Apa guna bung diam-diam kucing
Sudah menerkam sebelum berunding
Aksi kucing membikin perselisihan
Salah-salah dari kawan jadi lawan
Apa guna bung aksi-aksi kucing
Urusan kecil bisa jadi meruncing
Melalui teks lirik lagu Aksi Kucing tersebut penulis lirik menyinggung perilaku masyarakat yang hipokrit (munafik), yaitu berpura-pura malu, tetapi sifatnya persis seperti seekor kucing; sudah menerkam sebelum berunding.
Dalam format keindonesiaan, posisi kesenian Gambang Semarang adalah bagian dari kebudayaan yang seringkali dikategorikan dalam berbagai bingkai; ada yang berbingkai wilayah semisal kebudayaan lokal, nasional dan global.
Ada yang berbingkai ideologis semisal kebudayaan Islam atau kebudayaan Hindu, ada juga berbingkai waktu atau periodisasi semisal kebudayaan tradisional, kebudayaan modern, kebudayaan pop, dan Gambang Semarang dapat dikategorikan sebagai sebi hibrida.
Gambang Semarang merupakan pelopor dalam poerkembangan seni akulturasi atau bentuk seni hibrida yang mempertemukan perbedaan etnis dan elemen budaya, seperti yang sudah dilakukan oleh kesenian Gambang Kromong Jakarta.
*Djawahir Muhammad; Budayawan Semarang