Oleh: Djawahir Muhammad
Barisan.co – Gambang Semarang merupakan kesenian lokal di Semarang yang menandai keragaman elemen budaya Jawa – Tionghoa dengan berbagai dimensinya, antara lain dimensi kesejarahan. Dimulai dari komunitas pemukiman di Simongan, orang-orang Cina mengembangkan wilayahnya ke Pecinan dan bersosialisasi dengan masyarakat pribumi secara intensif.
Mereka semakin eksist melalui keberhasilannya sebagai pedagang yang dapat menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda, sehingga tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang kuat. Menurut Rush (2000 ; 526) dari berbagai pajak yang disetor oleh para penguasa (pachter) candu, garam, dan cukai yang dimonopoli pengusaha Tionghoa, pemerintah Belanda dapat memperoleh pemasukan yang membuat mereka terhindar dari kebangkrutan akibat Perang Diponegoro.
Di Semarang, kerajaan gula Oei Tiong Ham Concern tumbuh sebagai perusahaan multi nasional yang pengaruhnya sangat besar dan cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Ada kemungkinan hal ini memberikan pengaruh ketika Li Ho Soen sebagai anggota Volksraad mengajukan usulnya untuk mendirikan perkumpulan kesenian Gambang Semarang pada tahun 1930.
Dari catatan ini dapat diinterpretasikan bahwa kehadiran Gambang Semarang merupakan itikad baik masyarakat / etnis Tionghoa untuk bekerjasama dengan masyarakat / etnis Jawa.
Pada perkembangannya lebih jauh, peranan masyarakat Tionghoa dalam menjaga eksistensi Gambang Semarang sangat besar, mulai dari fungsi penyandang dana, penyedia lokasi berlatih dan bermain, proses kreatif dsb.
Keterbukaan dan relasi sosial yang berlangsung pada kedua etnis menjadi setting lahirnya budaya multikultural, ditandai dengan berbagai kreativitas seni, serta genre seni “seni pembauran” atau “seni peranakan”. Gambang Semarang juga berperan penting dalam proses kecakapan teknis bermain musik, sebagaimana alih kecakapan kedua etnis dalam seni memasak, seni membatik atau bentuk-bentuk pendidikan seni dan budaya lainnya.
Melalui media med-arb, spirit unity in diversity dan medium toekar tambah Gambang Semarang diprediksi telah berhasil mereproduksi karya-karya seni yang menunjukkan spirit multikulturalisme kedua etnis (Jawa dan Tionghoa).
Melalui proses tukar-tambah itu berbagai ekses atau konflik bisa ditepis atau diredam, berbagai “kerugian” atau perlakuan kurang simpatik pada masa lalu dapat diterima sebagai realitas sejarah. Fakta-fakta tersebut merupakan segmentasi proses hybridasi budaya kedua etnis menuju ke arah kehidupan yang pluralistik dan multikultural.